Walau Covid-19 Selesai, 74% Ilmuwan Ingin Konferensi Virtual (Webinar) Berlanjut - Telusur

Walau Covid-19 Selesai, 74% Ilmuwan Ingin Konferensi Virtual (Webinar) Berlanjut


Oleh : Denny JA

Konferensi virtual, yang populer di Indonesia dengan webinar akan menjadi buah paling ranum dari serangan musibah pandemik Covid-19. Walau pandemik berakhir, tradisi konferensi virtual akan berlanjut. 

Ini kesimpulan dalam survei terbatas yang diselenggarakan Jurnal Ilmiah Nature. Tentu kesimpulan ini tak bisa digeneralisasi, tapi cukup menjadi petunjuk awal masa depan konferensi virtual atau webinar.

Nature adalah Jurnal Ilmu dan Teknologi yang berwibawa. Ia tak hanya berusia tua, didirikan di tahun 1869. Tapi jurnal ini juga tercatat sebagai jurnal akademik yang paling banyak dikutip, berdasarkan data Journal Citation Report 2019.

Nature membuat survei kepada 900 pembacanya yang mayoritas juga ilmuwan manca negara. Bagaimana mereka merespon dan berharap atas konferensi virtual itu?

Tradisi panjang jurnal ini acap melakukan konferensi tatap muka tingkat nasional, regional ataupun global sejak puluhan tahun lalu.

Serangan pandemi membuat tradisi konferensi tatap muka terhenti. Karena roda organisasi dan keilmuan harus tetap berjalan, teknologi memberikan solusi konferensi virtual.

Awalnya, konferensi virtual itu hanya menjadi solusi yang terpaksa saja. Solusi sementara. Tak ada solusi lain bagi perlunya brainstorming secara kolektif ketika pertemuan tatap muka dilarang. 

Namun semakin lama, konferensi virtual menjadi pilihan favorit, bahkan ketika pandemik nanti sudah selesai. 

Setelah setahun menyelenggarakan konferensi virtual, sebanyak 74 persen dari pembaca Nature berharap konferensi virtual berlanjut walau pandemik berakhir. Setidaknya, konferensi virtual harus menjadi bagian penting dari serial meeting kegiatan para ilmuwan itu.  

Tiga hal dirasakan langsung dari kelebihan dan manfaat konferensi virtual. 

Pertama, menghemat biaya, waktu, dan tenaga. Pertemuan tingkat nasional, apalagi regional dan global menghabiskan begitu banyak  biaya untuk akomodasi: biaya pesawat, hotel, taxi, makan selama pertemuan. Juga tempat pertemuan harus besar. 

Mereka harus pula menyiapkan waktu yang panjang untuk traveling. Apalagi jika ini pertemuan antar negara. 

Pertemuan efektif kadang hanya beberapa sesi saja yang totalnya 6-10 jam. Tapi mereka harus menyiapkan waktu 3 hari 3 malam untuk transportasi, penginapan dan sebagainya. 

Mereka harus pula meninggalkan keluarga dan tempat kerja untuk pertemuan tatap muka itu. 

Kini materi yang sama, instensitas diskusi yang sama, bisa mereka peroleh melalui konferensi virtual. Mereka tak perlu traveling. Akses kepada konferensi itu bisa mereka lakukan dimana saja, di beranda rumah hingga di kantor. 

Betapa banyak uang, waktu, tenaga telah dihemat untuk mendapatkan kualitas diskusi yang sama. 

Kedua, mereka lebih banyak dapat mengajak anggota tim mendapatkan informasi langsung dari konferensi virtual itu. 

Biasanya dalam pertemuan tatap muka regional, satu organisasi hanya mengirimkan wakilnya satu orang saja. Menambah peserta dari organisasi itu akan menambah biaya traveling, hotel, makan dan sebagainya. 

Namun melalui konferensi virtual, sebanyak banyaknya peserta dalam organisasi itu dapat ikut serta. Cukup laptop itu dipantulkan ke dalam layar lebar atau televisi, begitu banyak perserta dapat mendengar sendiri, melihat sendiri konferensi virtual itu. 

Lebih banyak peserta dari organisasi mendapatkan informasi baru. Lebih cepat dan lebih luas pula perkembangan baru menyebar. 

Ketiga, konferensi virtual itu dapat terekam secara otomatis. Bagi yang tak bisa hadir langsung, karena satu dan dua hal, dapat mengikuti rekamannya di waktu yang berbeda. 

Bahkan nara sumber yang tak bisa hadir dalam konferensi virtual, Ia dapat merekam pandangannya dalam bentuk video. Peserta tetap memperoleh informasi dari nara sumber. 

Hadirnya konferensi virtual memang tak terhindari bagi peradaban digital. Datangnya musibah Covid-19 hanyalah mempercepat kehadiran konferensi virtual tersebut. 

Saya termasuk telat berpartisipasi dalam konferensi virtual, atau webinar, di tanah air. Sejak Work From Home pandemi di tahun 2020, bulan April, kegiatan webinar dimulai. 

Praktis saya mulai aktif dalam webinar setahun setelah pola itu mewabah. Alasan saya sederhana saja mengapa tak cepat mengikuti webinar sejak awal.  

Saya tak tahan berlama lama di depan laptop dalam rangka webinar itu. Saya merasa juga kehilangan human touch dalam virtual meeting itu. 

Namun akhirnya saya terdorong juga aktif berpartisipasi dalam webinar dengan cara saya sendiri. Posisi saya mengharuskan saya ikut meramaikan webinar itu. 

Ada tiga komunitas saya yang melalukan webinar rutin. Pada ketiga komunitas itu, posisinya sentral. 

Komunitas Satupena, Perkumpulan Penulis Indonesia, setiap minggu membuat webinar. Dalam komunitas Satupena, posisi saya adalah ketua umum. 

Komunitas Esoterika, Forum Spritualitas, setiap bulan menyelenggarakan diskusi buku, berkaitan dengan topik spiritualitas. Posisi saya disini sebagai Co-Founder. 

Komunitas puisi esai ASEAN juga menyelenggarakan webinar bulanan. Pesertanya banyak dari negara ASEAN. Posisi saya dalam komunitas ini lebih sentral lagi. Saya dianggap penggagas puisi esai itu sendiri. 

Saya pun berkompromi. Namun khas yang saya lakukan. Setiap kali saya aktif di webinar itu, saya mengirimkan video opini saya. Tak hadir secara fisik, tapi opini saya hadir melalui video opini yang saya rekam sebelumnya. 

Tak terasa jumlah video opini saya sudah berjumlah 20 video. Semua opini dalam video itu menggunakan data dan sejarah. Video itu saya lahirkan dengan riset yang mendalam. 

Topik bahasan sangat beragam, mulai dari review buku spiritualitas, untuk Forum Esoterika. Sastra untuk Forum Puisi Esai ASEAN. Lalu gabungan antara isu sosial, politik dan budaya untuk Forum Satupena. 

Kini 20 video itu sudah ditranskripsikan. Namun agar sesuai dengan alur aslinya, transkripsi atas 20 video webinar itu tetap menggunakan alur bahasa lisan. Acapkali saya memulai video opini dengan ucapan “Sahabat.” Dan mengakhirinya dengan ucapan “Salam.” 

Abrakadabra! Tersajilah buku ini.   

(Segera terbit buku “Ketika Kota Suci Menjadi Museum: Transkripsi 20 Video Opini Denny JA di aneka Webinar). 

*Penulis adalah Konsultan Politik, Founder LSI-Denny JA, Sastrawan, Penggagas Puisi Esai, dan Penulis Buku.


Tinggalkan Komentar