Oleh : Hananto Widodo

Permendikbud Ristek Dikti Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual menuai kritik dari beberapa kalangan. Regulasi ini dianggap melegalkan perzinahan di lingkungan kampus. Apakah benar demikian?

Alasan pengkritik ini didasarkan pada frasa dalam beberapa Pasal Permendibud Ristek Dikti ini. Salah satu yang menjadi kontroversial dapat kita lihat dalam Pasal 5 huruf l yang menyatakan “Kekerasan Seksual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: menyentuh, mengusap, meraba, memegang, memeluk, mencium dan/atau menggosokkan bagian tubuhnya pada tubuh Korban tanpa persetujuan Korban.” Frasa “tanpa persetujuan Korban” inilah yang dipersoalkan oleh beberapa kalangan. Mereka menafsirkan jika ada persetujuan berarti boleh.

Untuk lebih memahami apa makna dari suatu regulasi tentu tidak bisa hanya mencomot suatu Pasal kemudian ditarik kesimpulan yang dapat mewakili keseluruhan dari materi regulasi tersebut. 

Namun demikian, langkah awal yang dapat kita lakukan untuk bisa memahami materi muatan dari Permendikbud Ristek Dikti adalah dengan melihat pada pasal-pasal dan judul Permendikbud Ristek Dikti ini. Judul dari Permendikbud Ristek Dikti ini adalah tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual.

Dengan demikian, terdapat inkonsistensi antara judul dan Pasal-Pasal dalam Permendikbud Ristek Dikti ini jika regulasi ini juga mengatur mengenai perzinahan. Justru akan terlihat aneh jika judulnya mengenai kekerasan seksual, tetapi materinya mengatur mengenai perzinahan.  

Dalam hukum pidana, memang yang berlaku adalah asas legalitas yang artinya tiada suatu perbuatan yang dapat dipidana kecuali ada aturan yang mengatur sebelumnya. Asas legalitas ini mengandung pengertian jika tidak dilarang berarti boleh. 

Pertanyannya apakah dengan tidak ada larangan berzina dalam Permendikbud Ristek Dikti ini kemudian dapat dipersepsikan bahwa Permendikbud Ristek Dikti ini melegalkan perzinahan ? Pertama-tama yang harus dipahami adalah Permendikbud Ristek Dikti ini tidak dalam rangka melakukan kriminalisasi baik terhadap pelaku zina maupun terhadap pelaku kekerasan seksual. Dalam ilmu perundang-undangan, Permendikbud Ristek Dikti ini masuk dalam kategori regulasi, bukan legislasi. 

Dalam Pasal 15 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011 dinyatakan bahwa materi muatan mengenai ketentuan pidana hanya dapat dimuat dalam UU dan Perda, baik Perda Provinsi maupun Perda Kabupaten/Kota.  

Dalam Perda hanya dapat memuat ketentuan pidana pelanggaran dengan sanksi pidana ringan, sedangkan untuk sanksi pidana kejahatan hanya dapat diatur dalam UU.  

Logika yang melatarbelakangi hal ini adalah bahwa sesuatu aturan yang secara substansi merampas hak seseorang maka harus meminta persetujuan dari orang-orang yang akan dirampas haknya tersebut. Oleh karena itu, jika akan ada aturan yang berisikan sanksi pidana maka harus meminta persetujuan pada rakyat melalui wakil-wakilnya di parlemen. 

Lahirnya Permedikbud Ristek Dikti ini didasarkan pada Pasal 8 UU No. 12 Tahun 2011, tetapi dalam konsiderans mengingat UU No. 12 Tahun 2011 tidak dijadikan dasar sebagai keluarnya Permendikbud Ristek Dikti ini.  

Namun demikian, lahirnya sebuah regulasi tentu tidak hanya didasarkan pada alasan hukum semata, tetapi pasti ada alasan non hukum yang melatarbelakanginya. 

Biasanya alasan non hukum dinyatakan dalam konsiderans menimbang dan itu juga ditegaskan dalam konsiderans menimbang Permendikbud Ristek Dikti ini. Namun, uraian dalam konsiderans menimbang itu hanya bersifat normatif.  

Salah satu alasan yang dapat kita jadikan rujukan adalah pernyataan Mendikbud Ristek Dikti, Nadiem Makarim. Nadiem Makarim menyatakan alasan keluarnya Permendikbud Ristek Dikti ini dengan alasan kuantitatif. Menurut Nadiem, mengutip data dari Komnas Perempuan, sepanjang tahun 2015-2020 kasus kekerasan seksual, 27% kasus terjadi di Perguruan Tinggi. 

Sebenarnya, ada alasan kualitatif yang melatarbelakangi lahirnya Permendikbud Ristek Dikti ini. Alasan kualitatif ini dapat kita temukan dalam Pasal 1 angka 1 Permendikbud Ristek Dikti ini. Dalam Pasal 1 angka 1 dinyatakan “Kekerasan Seksual adalah setiap perbuatan merendahkan, menghina, melecehkan, dan/atau menyerang tubuh, dan/atau fungsi reproduksi seseorang, karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau gender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan psikis dan/atau fisik termasuk yang mengganggu Kesehatan reproduksi seseorang dan hilang kesempatan melaksanakan pendidikan tinggi dengan aman dan optimal.” 

Dari pernyataan Pasal 1 angka 1 itu dapat kita lihat bahwa penyebab utama dari terjadinya kekerasan seksual adalah karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau gender. Bagaimanapun juga terdapat ketimpangan relasi kuasa antara dosen dan mahasiswa. Ketimpangan relasi kuasa ini yang membuat mahasiswa tidak berdaya jika dosen melakukan kekerasan seksual terhadapnya. 

Oleh karena itu, janganlah heran ketika ada yang mengatakan jika data kekerasan seksual yang terjadi selama ini, baik yang terjadi di Perguruan Tinggi maupun di instansi lainnya hanya fenomena gunung es.  

Ada asumsi kalau mahasiswa yang menjadi korban ini takut untuk melaporkan kekerasan seksual yang menimpanya karena alasan takut. Ketakutan itu tidak lain dan tidak bukan disebabkan ketimpangan relasi kuasa antara dosen dan mahasiswa. B

Dengan demikian, lahirnya Permendibud Ristek Dikti No. 30 Tahun 2021 merupakan salah satu bentuk hadirnya negara dalam melakukan perlindungan terhadap warganya yang tidak berdaya. 

Terkait dengan kritik sebagian kalangan terhadap Permendikbud Ristek Dikti ini, akan lebih baik jika mereka memfokuskan energi mereka untuk mengawal Rancangan KUHP yang salah satu substansinya mengatur mengenai perzinahan.  

Untuk kasus perzinahan di lingkungan kampus, tidak diperlukan Permendikbud Ristek Dikti yang mengatur mengenai ini, karena dalam perzinahan tidak terdapat ketimpangan relasi kuasa antar kedua pelakunya, sehingga kasus ini akan lebih mudah untuk ditangani. 

*Penulis adalah Dosen Ilmu Hukum dan Ketua Pusat Kajian Hukum dan Pembangunan Fakultas Ilmu Sosial dan Hukum Universitas Negeri Surabaya (FISH Unesa).