Oleh : Daniel Mohammad Rosyid

Dengan mengundang Dahlan Iskan dan Said Didu sebagai nara sumber, para Guru Besar dan Doktor Insan Cita Alumni HMI pada Ahad malam mencoba merumuskan persoalan yang kini dihadapai BUMN Garuda Indonesia sebagai berikut. 

Dalam kondisi neraca dan cash-flow negatif (hutang Rp. 70 T, kerugian Rp. 1 T/bulan), maka GIA sebagai BUMN dengan peran strategis perlu diselamatkan dari krisis yang sebagian besar disebabkan oleh penurunan drastis demand akibat pandemi Covid-19 lebih dari 18 bulan terakhir ini. Pada saat pemerintah sibuk menyelamatkan banyak korporasi swasta dan BUMN lainnya, maka tidak ada alasan mengecualikan GIA untuk diselamatkan dari kebangkrutan. 

Memang kinerja GIA sudah bermasalah sejak sebelum pandemi. Bahkan sejak Orde Baru sudah beberapa kali pemerintah harus menyuntikkan dana segar sebagai tambahan modal untuk menyehatkan GIA. 

Diakui bahwa, ada persoalan internal GIA yang harus diselesaikan. Namun, menurut Said Didu, persoalan yang dihadapi banyak BUMN selama ini adalah intervensi partai politik pemenang Pemilu dalam pengelolaan BUMN. 

Akibatnya, banyak terjadi inefisiensi, dan inkompetensi akibat intervensi ini. BUMN seharusnya dibebaskan dari intervensi Pemerintah yang sedang berkuasa karena BUMN bukan milik Pemerintah, tapi milik negara.

Menurut UU yang berlaku, Menteri Negara BUMN ternyata memiliki kewenangan pengelolaan BUMN yang terbatas, karena sebagai Kuasa Pemegang Saham, kewenangan melakukan banyak aksi korporasi strategis seperti merger dan akuisisi tidak di tangan MenBUMN, tapi tetap berada di tangan Menteri Keuangan.  

Oleh karena itu, penting untuk merumuskan regulasi yang mengatur agar kepentingan jangka pendek partai politik penguasa pemenang Pemilu tidak dapat merembes ke dalam BUMN agar para direksinya mampu menegakkan Good Corporate Governance.  

GIA sebagai strategic agent of development yang melayani hajat hidup orang banyak sesuai amanat konstitusi perlu diselamatkan untuk memastikan mobilitas warga negara ke seluruh penjuru Nusantara sebagai negara kepulauan dengan bentang alam seluas Eropa ini.  

Menjadi negara maritim yang mampu memanfaatkan ruang udara dan lautnya adalah geograstrategic default bagi negara kepulauan bercirikan Nusantara ini.  

Dengan lebih fokus pada angkutan penumpang domestik, terutama pada route-route non-komersial, GIA perlu disehatkan agar mampu mengemban tugas strategis ini sekaligus sebagai model bagi airline operator yang memberikan jasa angkutan udara yang mengutamakan keselamatan, ketepatan waktu dan pelayanan serta menjangkau ke seluruh pelosok tanah air.  

Menjual sebagian besar saham GIA ke investor swasta, apalagi asing, bukan opsi yang tepat karena bisa mengancam kedaulatan nasional. Model bisnis GIA perlu diperbaiki dengan value proposition yang baru.  

Upaya efisiensi menyeluruh perlu dilakukan, juga negosiasi agar hutangnya bisa diselesaikan tanpa terlalu membebani biaya operasi. Positioningnya bersama City Link perlu dirumuskan kembali agar lebih sinergis. Mungkin juga perlu ada semacam New Merpati untuk melayani rute-rute perintis yang tidak menarik bagi swasta.  

Obsesi pertumbuhan yang berpijak pada eksploitasi komoditi (produk-produk pertanian, perikanan dan pertambangan) jangan sampai menelantarkan pengelolaan ruang Nusantara ini.  

Pada saat sistem transportasi nasional terperangkap pada angkutan jalan yang tidak efisien, polutif dan berbahaya, jasa angkutan udara juga angkutan laut adalah infrastruktur yang instrumental agar terjadi efsisiensi logistik dan sekaligus imajinasi tentang Indonesia dapat dipertahankan dengan pengalaman warganya berada di ruang Nusantara 3D. Taruhannya adalah persatuan Indonesia serta keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. 

*Penulis adalah CEO Rosyid College of Arts and Maritime studies (RCAM) yang beralamat di Gunung Anyar, Surabaya, Ketua Yayasan Pendidikan Tinggi Dakwah Islam (YPTDI), Pakar Teknik Kelautan, Anggota Komite The Royal Institution of Naval Arcitects (RINA) yang bermarkas di Inggris).