Oleh : Siema Marina
 
​Sebagai seorang guru, tak jarang saya mendengar beberapa keluhan dari seorang ibu. Banyak yang mengeluhkan kepada saya bahwa anaknya memiliki karakter yang kurang baik, keterlambatan dalam belajar saat di rumah, bahkan tak jarang ada ibu yang bercerita seakan akan menurunkan kualitas si anaknya itu sendiri.

​Fenomena ini membuat hati saya terasa sangat terluka, sebab tak ada yang namanya anak bodoh yang ada hanyalah anak yang belum mengerti, sebab anak adalah peniru ulung, apa saja yang ia dapat, baik lewat pendengaran maupun penghilatan akan dengan mudah ia tirukan.

​Sebagai seorang pendidikan, saya bertugas untuk memberikan arahan maupun bimbingan sebaik mungkin kepada seluruh murid-murid saya, tapi bukan berarti sepenuhnya karakter maupun kecerdasan si anak menjadi tanggungjawab saya. Dalam kenyataannya, faktor utama yang sangat mempengaruhi kualitas si anak adalah keluarga, terutama seorang ibu.

​Ibu adalah madrasah utama bagi seorang anak, sebab hampir seluruh waktu atau masa pembentukan dan perkembangan si anak sepenuhnya bersama si Ibu. Dari masa kehamilan, sebenarnya sudah menjadi salah satu faktor pembentuk karakter anak, berlanjut pada masa menyusui maupun hitungan waktu balita, sebab hampir 24 jam masa-masa itu dihabiskan sangat ekslusif antara ibu dan anak.

Bahasa yang pertama kali ia pahami dan sering ia dengar adalah bahasa seorang Ibu, gerakan maupun tindakan yang pertama kali ia ikuti adalah gerakan sang ibu, maka tak heran jika ibu mendapatkan gelar sebagai madrasah utama bagi seorang anak. 

Dari hal ini dapat kita simpulkan bahwa karakter maupun kualitas utama seorang anak akan ditentukan oleh didikan sang Ibu. Lantas bagaimana dengan ibu-ibu yang sering sekali menyalahkan sang anak, bahkan menurunkan kualitas si anak? Bukankah itu sama halnya dengan ia menyalahkan dan menurunkan kualitas dirinya sendir?.

Terkadang saat ada orang tua murid yang mengeluhkan kualitas anaknya kepada saya, tindakan yang pertama kali saya lakukan adalah bertanya, “Apakah ibu sering mendoakan anak ibu?”. Jawaban yang sering saya dapatkan yaitu, “Iya saya sering.” Lalu saya lanjut bertanya “Apakah ibu tau jika ucapan seorang ibu adalah bagian dari doa?”, jawabnya “ya saya tau.’’

 Dan saya lanjutkan pertanyaan saya yaitu “Saat anak ibu melakukan kesalahan, apakah ibu sering membentak bahkan berkata kasar?”, lalu dijawab “Ya saya membentak dan melontarkan kata kata kasar, itu semua saya lakukan karna anak saya sulit untuk diberitahu.” Dari percakapan itu kita bisa pahami jika, kesalahan utama seorang ibu adalah kurangnya rasa sabar.

Anak adalah anugrah, titipan dari sang maha kuasa yang bisa menjadi ujian kesabaran bagi kedua orang tuanya. Dalam mendidik seorang anak kita sebagai orang tua haruslah mempunyai kesabaran yang sangat luas, sebab apapun yang kita berikan kepada anak itulah yang akan kita terima dalam perkembangan seorang anak.

Ada sebuah kalimat yang menyatakan bahwa, ucapan seorang ibu adalah sebuah doa. Disini Ibu memiliki kedudukan yang sangat amat luar biasa dalam menentukan kualitas dari seorang anak, sebab apa? Doa yang ibu berikan kepada anak tidak harus saat setelah sholat atau waktu waktu tertentu saja, tetapi setiap saat setiap ucapan baik dilisan maupun hati seorang ibu kepada anaknya adalah suatu perkara yang bisa menjadi doa. Maka keistimewaan ini bisa menjadi sebuah anugrah maupun  boomerang bagi seorang Ibu.

Saat seorang ibu melihat anaknya melakukan kesalahan, disinilah kesabarannya diuji dan penentuan apakah ia bisa memanfaatkan keistimewaanya itu dengan baik atau malah sebaliknya. 

Ibu yang bisa memanfaatkan keistimewaanya itu akan bisa menahan amarahnya dan lebih bersabar, sehingga ucapan yang keluar dari lisanya bukan lah hal cacian, hianaan maupun tindakan kasar lainya melainkan sebuah doa, misalnya “Ya Allah nak, itu salah, bukan seperti itu mari ibu contohkan” dan saat anak mulai menirukan dengan benar maka pujilah ia dengan contoh kalimat. “Alhamdulillah, MasyaAllah pintar sekali anak ibu, seperti ini ya nak untuk besok besok semoga Alloh permudah kamu dalam pemahaman sehingga kamu tidak mudah melakukan kesalahan, hebat anak ibu.” 

Tapi ada ibu yang tidak bisa memanfaatkan keistimewaanya itu maka ia akan memilih tindakan untuk meluapkan amarahnya, “Bodoh sekali kamu, anak nakal”, bahkan tak jarang yang sampai memberikan pukulan, hal tersebut sangatlah mempengaruhi perkembangan psikologi bagi si anak, dan membawa anak kealam bawah sadarnya untuk memahami bahwa dirinya itu bodoh dan nakal.

Maka dari itu pentingnya pembekalan bagi sorang ibu untuk mendidik anak anaknya, terutama dalam hal ucapan, ibu dianjurkan untuk memberikan ucapan-ucapan yang indah, yang baik dan santun agar menjadi doa yang terbaik untuk si anak.

Pada beberapa ayat Al-Qur'an, Allah menegaskan bagaimana kalimat yang baik memiliki pengaruh yang luar biasa dalam menentukan karakter bahkan jalan hidup manusia. Kalimat yang baik adalah kata-kata yang mengandung nilai positif, kejujuran, kebenaran, dan penuh hikmah. Kalimat yang baik akan mengalahkan hati yang sekeras batu sehingga manusia akan lebih mudah menerima kebaikan dan mudah diarahkan.

Salah satu perumpamaan Al-Qur'an tentang efek luar bia sa dari sebuah kalimat yang baik tercantum dalam surah Ibrahim ayat 24-25.
"Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti sebuah po hon yang baik, akarnya kokoh sedangkan cabang-cabang nya menjulang ke langit. Pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim atas izin Tuhan-Nya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia agar mereka senantiasa ingat."

Kalimat yang baik diumpamakan oleh Allah laksana se buah pohon. Pohon yang tumbuh dengan baik akan senantiasa memberikan banyak manfaat tanpa henti. Dan meskipun ia terus tumbuh tinggi ke atas, akarnya tetap teguh tertancap pada tanah, memberikan pohon itu ke seimbangan agar ia tidak tumbang meski cabang-cabang dan buah-buahannya terus bertambah.

Dr. Muhammad Ahmad As-Syarqawy, seorang ahli tafsir Mesir menerangkan, maksud tersirat ayat tersebut dan menghubungkannya dengan hal parenting. Beliau menjelaskan bahwa perkembangan seorang anak dipengaruh oleh dua faktor penting dalam hidupnya yaitu faktor ketu runan dan lingkungan. Anak yang baik akan lahir dari ketu runan yang baik dan dibentuk oleh lingkungan yang baik pula. 

Pada ayat tersebut Allah memberikan gambaran bahwa apa yang diwarisi oleh anak dari orangtuanya bukanlah masalah fisik, melainkan karakter dan etika se hari-hari. Sebagaimana pohon yang akarnya bagus, akan tumbuh dengan baik pula. Buah pohon yang baik tentu berasal dari pohon yang terawat dengan baik dan semua nya ditentukan dari nutrisi yang diserap oleh akar pohon tersebut.
 
Pada masa pembentukan karakter, anak-anak akan terfokus pada indra penglihatan dan pendengarannya. Mereka akan menjadi seorang pengamat yang luar biasa tanpa kita sadari. Apa yang mereka lihat dan apa yang mereka dengar akan tersimpan dalam memori jangka panjang me reka. Mereka seperti sebuah mesin perekam tanpa filter yang mampu merekam apa saja yang mereka simak.

Gaya bicara seorang anak adalah bentuk ekspresi dari apa yang ia tangkap sehari-hari. Beberapa hasil penelitian para psikolog perkembangan anak mengungkapkan bahwa anak yang sering mendengar kata-kata seperti Maaf, Terimakasih, Sayang, dan Cinta akan menjadi seorang yang sukses dalam kariernya saat dewasa dan lebih mudah beradaptasi di lingkungannya. Anak yang terbiasa mendengar ucapan yang baik dari orangtuanya akan tumbuh menjadi seorang pemimpin yang mampu menjalin hubungan dengan siapa saja. 

Sebaliknya, perkataan yang buruk akan memengaruhi ke jiwaan anak menjadi negatif. Pada ayat selanjutnya Allah memberikan perumpamaan kalimat buruk seperti pohon yang tak mampu berdiri kokoh.

"Dan perumpamaan kalimat yang buruk seperti pohon yang buruk pula, akar-akarnya tercabut dari permukaan bumi, tidak dapat tegap sedikit pun.”

Ucapan yang buruk tidak akan meninggalkan kesan yang baik, tidak memberikan manfaat, sehingga apa yang disampaikan orangtua tidak akan meninggalkan bekas di hati anak. Anak yang ditegur dengan kata-kata kasar justru akan balik membalas orangtua dengan sikap lebih kasar lagi. 

Para psikolog mengungkapkan bahwa, berteriak kasar kepada anak akan membentuk watak keras ke pala pada dirinya. Meneriaki anak justru akan membuat orangtua menghabiskan energi dengan percuma, karena pada akhirnya anak tidak akan mendengarkan apa pun yang dikatakan kepadanya. 

Beberapa hasil penelitian juga menunjukkan jika membentak, anak akan merusak sel-sel otaknya. Maka jika fungsi otak anak rusak, bukankah ia ti dak akan mengeluarkan potensi secara maksimal seperti pohon yang layu?
 
Anak yang terbiasa mendapatkan kata-kata kasar dan penuh kebencian dari orangtuanya akan menjadi pribadi yang mudah melukai teman-temannya, sehingga nantinya ia akan terkucilkan.

Bayangkan saja, jika dalam lingkung an sehari-hari seorang anak lebih banyak mendengarkan kata-kata kasar dan jorok, sering melihat pertengkaran dan adu mulut orangtuanya, maka seorang anak akan tumbuh menjadi pribadi yang kasar, tidak mau diatur, dan tidak mengenal sopan-santun. Anak seperti ini akan seperti pohon yang nantinya tumbang begitu saja karena akarnya tercabut dari dalam tanah.

Kata-kata positif lahir dari hati yang lemah lembut. Sebaliknya, mencaci dan membentak anak lahir dari hati yang keras dan kaku. Sikap keras dan kasar tidak akan mendatang kan manfaat. Melarang anak melakukan sesuatu dengan membentak dan menghardiknya tidak akan membuat anak menghentikan aksinya. Pada akhirnya komunikasi antara anak dan orangtua tidak dapat terbangun, sehingga terciptalah jarak di antara keduanya.

Kedua, ketika anak-anak melakukan kesalahan maka sikap terbaik adalah dengan memaafkan kesalahan mereka. Memberi maaf bukan hanya membuat hati orangtua lepas dari kekesalan dan amarah, tetapi juga memberi kenya manan kepada anak sehingga ia termotivasi untuk tidak melakukan hal tersebut kedua kalinya.

Ketiga, musyawarah. Bangunlah dialog yang baik dengan anak. Berusahalah memahami mengapa anak melakukan hal-hal yang tidak anda sukai, mengapa anak tidak mau menurut, dan lainnya. Bertanyalah setelah kekesalan Anda reda. Biarkan anak membela dirinya. Dengarkan dengan baik alasannya. Lalu bermusyawarahlah dengan anak bagaimana solusi atas perbuatannya. 

Dengan musyawarah, anak akan merasa dilibatkan dan dihargai. Jika sebuah aturan ditetapkan dengan bermusyawarah terlebih dahulu, maka orangtua dapat mengingatkan anak bahwa aturan itu juga bagian dari keputusannya.

*Penulis adalah Mahasiswa Prodi Bimbingan Konseling Islam Institut Ummul Quro Al-Islami (IUQI) Bogor.