Oleh : Akmal Nasery Basral

Of all public figures and benefactors of mankind,

no one is loved by history more than the literary patron ...

The patron creates 'literature through altruism,'

something not even the greatest genius can do with a pen.

(Dari semua tokoh publik dan dermawan kemanusiaan,

tak seorang pun yang dicintai sejarah lebih dari pelindung sastra ...

Pelindung menciptakan ‘sastra melalui melalui bantuan tanpa pamrih’,

sesuatu yang bahkan jenius terbesar tak bisa lakukan dengan pena.)  

~ Roman Payne, Sastrawan Amerika Serikat

ADA tiga cara merawat kebudayaan secara aktif yang sudah terpetakan sepanjang sejarah peradaban manusia. Yakni Ia menjadi produsen/pencipta dalam merumuskan ide, menciptakan artefak dan menggalang interaksi produk kebudayaan.

Atau ia menjadi konsumen/penikmat yang kritis-apresiatif. Dan Ia menjadi patron yang suportif.

Kelompok pertama adalah para penulis, komposer, sutradara, pemahat, perancang busana, arsitek, dan banyak profesi lain sejenis. 

Kelompok kedua terdiri dari para penikmat karya kelompok pertama yang mengapresiasi secara aktif baik lewat jalur ekonomi dan atau isi karya. Apresiasi secara ekonomi adalah dengan membeli karya-karya kelompok pertama bukan dengan cara lancung membeli karya bajakan.  

Adapun kelompok ketiga adalah sosok-sosok yang menopang proses kreatif kelompok pertama baik melalui dukungan finansial maupun non-finansial. Akibatnya para kreator seni bisa fokus dalam mengeluarkan kemampuan terbaik mereka saat dalam mencipta karya. 

Pada wilayah literasi, patron selalu ditemukan pada setiap peradaban lintas zaman.  

Yang pertama harus disebut adalah Gaius Cilnius Maecenas (70 SM-8 M) tersebab dari nama belakangnya itulah kelak muncul predikat “maecenas” (Indonesia: maesenas). Makna yang berlaku universal dari predikat itu adalah “patron seni”. 

Maecenas adalah penyokong finansial dua penyair besar Virgil dan Horace serta sejumlah penyair lain seperti Propertius, Varius Rufus, Plotius Tucca dan Dominitius Tarsus. Ini  ditulis oleh Chris Simpson peneliti sastra dari Wilfried Laurier/McMaster University, Kanada. 

Di belahan bumi berbeda, juga pada masa berbeda ada Al Fath ibn Khaqan (817-861). Ia hakim berpengaruh pada era Khalifah Al Mutawakkil.  

Sebagai seorang patron dan maesenas yang dihormati di era kekhalifahan Abbasiyah, dia menopang kebutuhan hidup penyair Al Buhturi (Al Walid ibn Ubaidillah Al Buhturi). Ia juga menopang sejarawan Al Tha’labi (Abu Ishaq Ahmad ibn Muhammad ibn Ibrahim al Nisaburi al Tha’labi).  

Ia juga membantu penulis prolifik Al Jahiz (Abu Utsman Amr ibn Bahr al Jahiz) dengan adikarya Fi Manaqib al Turk (“Tentang Kemuliaan orang-orang Turki”). Ini merupakan salah satu dokumentasi literer paling akurat tentang era itu.   

Al Fath juga membangun sebuah perpustakaan besar di Samarra, ibu kota kekhalifahan, yang kini berada di wilayah Irak.  

Perpustakaan yang bisa diakses publik itu merupakan bagian istana keluarga yang dikenal sebagai Jawsaq al Khaqani (“Istana Keluarga Khaqan”). Sejarawan Inggris Profesor Hugh N. Kennedy menyebut Al Fath sebagai ‘bibliofil terbesar pada masanya’. 

Kesamaan Gaius Maecenas dan Al Fath ibn Khaqan selain menjadi patron literasi adalah mereka juga penulis dan menghasilkan karya. Memang pamor karya-karya mereka berada di bawah bayang-bayang karya penulis yang mereka topang.  

Namun hal itu tak membuat mereka merasa berada dalam suasana kompetisi dengan para penulis yang mereka bantu. 

Daftar patron literasi ini masih bisa diperpanjang. Namun dua nama di atas yang mewakili dua peradaban besar sudah cukup representatif sebagai ilustrasi pembuka esai ini. 

Antologi puisi esai Taman Iman Taman Peradaban yang saya tulis (Cerah Budaya Indonesia, 2021) juga berada dalam koridor patron literasi melalui dukungan Denny Januar Ali (Denny J.A).  

Ia seorang ilmuwan sosial (social scientist), penulis prolifik yang sudah menghasilkan 102 judul buku selama 40 tahun berkarya (1981-2021). Ia juga filantropis kegiatan kemanusiaan.   

Denny sendiri menyebut dirinya sebagai ‘partner pencipta peradaban.’ Ini sebuah predikat yang elegan karena menutup peluang bagi munculnya hegemoni egosentrisme sebagai auteur. 

Taman Iman Taman Peradaban yang mengulas fragmen kehidupan 10 Tokoh Agama di Indonesia. Yaitu KH Ahmad Dahlan, KH Hasyim Asy’ari, Buya Hamka, Mr. Syafruddin Prawiranegara, Syekhah Rahmah El Yunusiyah, Y.B. Mangunwijaya, Ihromi, Gedong Bagus Oka, Ashin Jinarakkhita dan Bingky Irawan. 

Buku puisi ini  sebuah ikhtiar untuk memperkuat ikatan tali kebangsaan dari enam agama yang diakui secara resmi. Dasarnya  Keppres No. 6/20 yang dikeluarkan oleh Presiden Abdurrahman Wahid. Keppres ini diperkuat dengan SK Menteri Agama Nomor MA 12/2006.  

Berdasarkan jumlah persentase dari populasi penduduk, komposisi penganut agama di Indonesia adalah sebagai berikut: Islam (87,2%). Protestan (6,9%). Katolik (2,9%). Hindu (1,7%). Buddha (0,7%). dan Konghucu (0,05%). 

Kenapa buku puisi ini saya tulis dalam bentuk puisi esai bukan dalam bingkai kreatif lain? 

Tentu saja fragmen kehidupan kesepuluh tokoh agama itu bisa disampaikan dalam banyak cara. Dari gurindam, pantun, hikayat, prosa liris, puisi epik, cerpen, lagu, novel sejarah, biopic (biographical picture/film biografi), sampai game interaktif jika diperlukan bagi generasi milenial yang digital native. 

Sebagai seorang novelis, saya sudah menggubah kisah 3 dari 10 tokoh agama itu dalam bentuk novel sejarah. Puisi esai menjadi alternatif menarik tersebab menjadi tantangan kreatif. 

Sependek pengamatan saya hampir tak ditemukan, untuk tak menyebut belum ada karya puisi esai yang menyajikan biografi tokoh nasional dari lebih 100 buku puisi esai yang sudah terbit. 

Dalam fungsinya sebagai patron, Denny JA sangat profesional karena menegakkan ‘firewall.” Denny tak mencampuri sedikit pun urusan kreatif.  

Ke-10 nama tokoh agama itu sepenuhnya pilihan saya dengan latar belakang penetapan yang saya jelaskan pada bagian pengantar antologi tersebut. 

Kendati Taman Iman Taman Peradaban merupakan kerja sama pertama kami dalam menghasilkan buku dalam format PDF, namun ini bukan pertama kalinya Denny JA mendukung karya-karya saya. 

Interaksi saya dengan Denny JA dimulai melalui WAG (WhatsAppGroup) Musyawarah Sastrawan Nusantara (Sastra Munsi) yang dikelola sejumlah administrator. Antara lain Jamal D. Rahman (Pemimpin Redaksi majalah sastra Horison) dan Dr. Sastri Sunarti Sweeney (Sekretaris Jenderal Perhimpunan Sastra Budaya Negara Serumpun).  

Saat itu secara pribadi saya belum kenal Denny JA meski tentu saja sudah mendengar nama dan kiprahnya. 

Di WAG itu saya lihat Denny JA selalu mendukung karya-karya anggota yang baru terbit dengan cara mengalokasikan dana Rp 5 juta per judul buku.  

Anggota lain yang tertarik untuk memiliki buku itu tinggal menghubungi sang penulis yang akan mengirimkan buku secara gratis karena harga buku dan ongkos kirim sudah ditanggung Denny JA.  

Entah berapa jumlah judul buku karya anggota WAG Munsi yang didukung Denny JA, saya tak punya catatan pastinya.  

Yang jelas saya mendapatkan buku gratis karya Jodhi Yudhono, wartawan Kompas yang juga penyair dan musisi, melalui cara ini. 

Pada akhir 2018 saya menerbitkan novel Dilarang Bercanda dengan Kenangan (Republika Penerbit) setelah vakum menulis selama empat tahun.  

Untuk peluncuran buku diadakan di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, Depok, di sebuah auditorium yang mampu menampung 120 orang peserta. Ibnu Wahyudi, dosen senior FIB yang pernah menjadi pengajar tamu di Hankuk University of Foreign Studies, Seoul, sebagai pembahas utama. Pembahas lainnya adalah Ana Mustamin, pemimpin redaksi majalah sastra Majas. 

Sebagian besar peserta adalah mahasiswa dan dosen FIB.  Sebagian kecil lainnya pecinta sastra dari luar UI. Saya  ingin membagikan novel itu kepada mereka secara cuma-cuma sebagai tanda apresiasi.  

Saya mendapatkan dua orang donatur untuk itu. Yang pertama adalah Arief Budhy Hardono, Ketua Umum ILUNI UI (2016-2019). Yang kedua adalah Denny JA. Keduanya menjadi donatur untuk masing-masing separuh jumlah hadirin. 

Komunikasi saya dengan Arief berjalan lebih familiar, karena kami sudah kenal lama. Bahkan dia senior dua tahun di atas saya sejak SMP dan SMA di kawasan Tebet, Jakarta Selatan. B

Sementara dengan Denny JA, saya belum kenal pribadi dan tak pernah bertemu muka. Ini membuat saya tak begitu yakin dia akan membantu. Apalagi saya hanya menghubungi via WA.  

Namun responnya sungguh di luar dugaan.  Dia bersedia menjadi donatur tanpa syarat apa pun. Dengan adanya donatur maka penerbit pun terbantu. Inilah awal interaksi saya dengan Denny JA di bidang literasi. 

Sejak tahun 2014, saya dan beberapa orang alumni FISIP UI membuat kelompok diskusi Forum Akselerasi Masyarakat Madani Indonesia (FAMMI) dengan delapan orang deklarator.  

FAMMI pun memiliki WAG sendiri dan cukup rutin melakukan diskusi tatap muka. Ini terutama sebelum terjadi pandemi Covid-19.  

Beberapa orang yang pernah menjadi narasumber diskusi FAMMI adalah Prof. Dr. Eko Prasojo (mantan Wakil Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Presiden Asian Group for Public Administration (AGPA), 2019-2022). Pernah pula Prof. Dr. der Soz. Gumilar Rusliwa Somantri (Rektor UI periode 2007-2012). Juga Dr. Ricardi S. Adnan (mantan Direktur UI Press, Ketua Prodi Pascasarjana Sosiologi FISIP UI). 

Denny JA kemudian bergabung dengan sebagai anggota WAG FAMMI dan meneruskan tradisi mendukung karya anggota. Ia menjadikan buku sebagai hadiah bagi anggota lain, seperti dilakukannya di WAG Sastra Munsi.  

Dua karya saya selanjutnya yaitu novel fiksi ilmiah Disorder (Bentang Pustaka, Desember 2020) dan Dayon (MCL Publisher, Juni 2021). Dukungan ini bukan hanya bagi saya melainkan juga untuk karya wartawan senior dan penyair Sirikit Syah serta praktisi telekomunikasi dan pengamat politik Beydra Yendi. 

Pada WAG Satupena, perkumpulan penulis yang diketuai Dr. Nasir Tamara, di awal 2021 Denny JA juga membeli buku karya kolektif mahasiswa ITB. Mereka diampu Dr. Acep Iwan Saidi (pakar semiotika dosen Sekolah Pascasarjana Seni Rupa dan Desain ITB dan Ketua Forum Studi Kebudayaan FSRD ITB) dan dijadikan hadiah bagi anggota Satupena.  

Denny JA juga memberikan donasi sebesar Rp 50 juta untuk melancarkan kegiatan organisasi Satupena dan dipublikasikan langsung oleh Nasir Tamara di bulan Mei 2021. 

Contoh-contoh di atas adalah yang saya ketahui secara langsung. Saya duga ini baru sebagian kecil kiprah altruistik Denny JA dalam menjalankan fungsi patron literasi karena keterbatasan interaksi saya dengan DJA hanya pada tiga WAG di atas (Sastra Munsi, FAMMI dan Satupena).  

Sangat mungkin lebih banyak lagi dukungan Denny JA bagi komunitas literasi dan para penulis yang tidak saya ketahui. 

Uniknya, dukungan Denny JA terhadap karya-karya saya itu, terutama melalui WAG FAMMI, tak serta-merta membuat kami selalu sepakat dalam beberapa hal.  

Perbedaan pendapat tetap terjadi dalam pertukaran argumen yang tajam dan dalam, terutama jika menyangkut topik LGBT, Islamic Index dan hal-hal yang bernuansa relijius-arkeologis. Misalnya, apakah Nabi Adam atau Musa tokoh nyata dalam sejarah atau figur fiktif-simbolis. 

Posisi pemikiran Denny JA yang (Islam) liberal hampir selalu berseberangan dengan pemahaman saya yang ‘moderat-namun-skripturalis’.  

Pertukaran ide dari dua posisi cara melihat yang berbeda ini kerap terekspos di WAG FAMMI, bukan hanya pada satu-dua posting. Terkadang malah menjadi utas (thread) yang beranak-pinak. 

Dengan kondisi seperti ini, sebetulnya Denny JA punya alasan sangat kuat untuk tak perlu berperan sebagai patron literasi bagi (sebagian) karya saya. Kalau pun dia menyukai konten yang saya tulis, sudah cukup baginya memiliki satu eksemplar dari setiap judul untuk dokumentasi pribadi. 

Tapi Denny mengeluarkan dana berkali lipat lebih banyak dengan menjadikannya sebagai hadiah bagi anggota WAG lainnya (100 eksemplar per judul. Ini juga dialami Sirikit Syah dan Beydra Yendi).B

Bagi saya, ini menunjukkan satu hal gamblang bahwa, Denny JA seorang pemasar dan petarung ide dengan sportifitas prima. Kritik-kritik saya terhadap cara pandangnya pada sejumlah topik tak menghentikannya untuk mendukung karya-karya literasi yang saya produksi.  

Dengan kata lain, perdebatan kami sehat dan konstruktif karena tak pernah masuk wilayah ad hominem, selalu fokus pada basis argumentasi dan penghormatan spirit ‘agree to disagree’. 

Sementara, dalam hal pemuliaan marwah ‘partner pencipta peradaban’, kami berjalan di koridor yang sama. 

Menyebut Denny JA , memang tak lepas dari dua hal kontroversial, yakni kiprahnya sebagai konsultan politik melalui Lingkaran Survei Indonesia (LSI) dan gagasannya menggulirkan wacana puisi esai yang menjadi hot topic dunia Sastra Indonesia selama sewindu terakhir.  

Saya tak akan meneroka kiprahnya di bidang konsultasi politik pada tulisan ini. Saya hanya membahas aspek kedua sebagai pendorong puisi esai yang bergairah. 

Perdebatan pro-kontra di berbagai kanal media sosial (utamanya di Facebook, Twitter dan mailing-list sastra ketika IG belum sepopuler sekarang) yang sangat sengit dan masih bisa diakses sampai sekarang bagi yang berminat. 

Tapi faktanya, penerimaan publik terhadap puisi esai terus meluas bukan hanya di ranah domestik, melainkan juga di kawasan regional Asia Tenggara. 

Untuk ranah domestik, sudah terbit lebih dari 100 buku puisi esai dengan 34 buku di antaranya ditulis oleh 175 penulis dari 34 provinsi.  

Pencapaian kuantitatif ini dibarengi dengan pengakuan kualitatif dari Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Sejak Mei 2020, kamus ini memasukkan puisi esai sebagai lema baru dengan arti “Ragam sastra berisi pesan sosial dan moral melalui kata sederhana dengan pola berbait-bait, berupa fakta, fiksi dan catatan kaki.” 

Di tingkat regional, pada April 2018, berlangsung workshop puisi esai di Malaysia yang diikuti oleh sepuluh penyair kedua negara jiran.  

Dari Indonesia, penyair yang berpartisipasi adalah Dhenok Kristianti, De Kemalawati, Fanny Jonathan Poyk, Isbedy Stiawan ZS, Hari Mulyadi.  

Sedangkan, penyair dari Malaysia yang ikut program adalah Datuk Jasni Matlani (Ketua Chapter Malaysia Perhimpunan Sastra Budaya Negara Serumpun), Siti Rahmah Ibrahim, Hasyuda Abadi, Abdul Karim Gullam, Jasni Yakub. 

Pada Februari 2020, Badan Bahasa dan Sastra Sabah, Malaysia memberikan Penghargaan Sastra Kemanusiaan dan Diplomasi ASEAN kepada Denny JA karena dinilai berjasa membuat terobosan, melahirkan dan mempopulerkan puisi esai hingga ke tingkat negara ASEAN seperti dilansir Kantor Berita Nasional Antara. 

Contoh-contoh yang tersaji ini tak dimaksudkan untuk menihilkan pendapat mereka yang melakukan constructive criticism terhadap puisi esai baik secara ontologis maupun epistemologis.  

Denny JA sendiri dalam banyak komentarnya terhadap para pengkritik puisi esai selalu menyatakan, “Biarlah tumbuh seribu bunga di dalam taman.” 

Sebuah sikap positif yang menyiratkan dengan gembira bahwa, keragaman pendapat adalah keniscayaan sokoguru peradaban.  

Sejatinya yang dilakukan Denny JA adalah mempraktikkan salah satu hikmah literasi tertua dalam hayat peradaban manusia: verba volant scripta manent (“kata-kata pergi, tulisan abadi”). 

Sewindu usia puisi esai atau lebih tepatnya 9 tahun, jika antologi Atas Nama Cinta karya Denny JA pada 2012 ditakar sebagai awal puisi esai, memang belum terhitung waktu yang panjang dalam diskursus sastra atau untuk menjadi sebuah polemik layaknya Polemik Kebudayaan. 

Dalam Polemik Kebudayaan, ia menjadi badai pertarungan pemikiran para intelektual di tahun 1930-an yang gemanya masih bergaung sampai sekarang. 

Namun jelang satu dekade perdebatan puisi esai ini bisa menjadi stepping stone yang membawa komunitas sastra Indonesia dan negara serumpun dalam ikhtiar proaktif dalam redefinisi konsep-konsep baku dalam semesta susastra.  

Sebuah ajakan dan tawaran yang bisa terlihat agitatif dan hiperbolis oleh satu kalangan, namun terasa inovatif dan menyegarkan bagi kalangan lain. 

Dengan memberi kesempatan bagi waktu sebagai penentu, dalam rentang 10-20 tahun ke depan, akan semakin terlihat apakah puisi esai akan mengokohkan eksistensinya dalam khasanah literasi Nusantara, bahkan dunia. Atau puisi esai punah dan tersimpan dalam museum peradaban.  

Apa pun yang terjadi kelak, Denny JA sudah mencatatkan diri sebagai ‘partner pencipta peradaban’ yang pro-aktif dan tak ragu menempuh badai polemik. 

Dari sudut pandang ini, maka kita bisa mengancik pada peran Denny JA lain sebagai filantropi kemanusiaan dan kebangsaan. 

Denny JA merawat Ibunda Bunaya Ali yang bertahun-tahun sakit dan wafat di bulan Mei 2018. Sisi kreatif di dalam dirinya menuntun sensitivitas estetiknya mengubah sebuah puisi esai yang ngelangut berjudul “Ketika Ibu Tak Lagi Ingat Kami (When Mom Doesn’t Remember Us Anymore).” 

Ini puisi yang sangat personal dan mengharukan ketika seorang Ibu terserang Alzheimer, penyakit dementia (kepikunan) akibat penurunan daya ingat, sudah tak ingat lagi nama suami dan anak-anaknya. Tetapi sang Ibu masih ingat syair lagu “You Are My Sunshine.” 

Bahkan, Ibu ikut bernyanyi ketika suami dan anak-anaknya menyanyikan lagu itu. Puisi esai ini kemudian divisualisasikan dalam video animasi dan terdokumentasi di YouTube. 

Menurut Denny, ini Ibu dari sahabat lamanya. 

Namun langkah Denny JA tak hanya berhenti sampai pada eksplorasi sisi kreatif saja. Denny bergerak lebih jauh dengan mewujudkan sisi filantropi melalui donasi nyata melalui Yayasan Alzheimer Indonesia. 

Yayasan ini bertungkus lumus melakukan edukasi dan sosialisasi tentang penyakit yang menyerang sekitar 50 juta penduduk dunia di tahun 2020.  

WHO memprediksi jumlah pasien Alzheimer mencapai 82 juta orang di tahun 2030 dan 152 juta orang di tahun 2050. 

Berapa besar donasi Denny JA bagi Yayasan Alzheimer Indonesia? Pertanyaan ini lebih baik ditujukan kepada Sofie Kurnia Widi, bendahara YAI, pihak yang paling otoritatif. 

Sisi lain filantropi Denny JA juga dilakukan terhadap Rumah Jurnalisme yang sedang dibangun Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI).  

Program ini selain untuk merenovasi kantor AJI juga membangun fasilitas baru untuk pelatihan jurnalisme, perpustakaan, hingga ruang publik.  

AJI membuka peluang donasi bagi individu dan korporat melalui standar nominal tertentu yang disimbolkan dengan ‘satu batu bata’.  

Denny JA atas nama pribadi dan korporat memberikan donasi ‘batu bata’ yang diterima oleh Sekjen AJI, Ika Nitingyas, yang juga jurnalis majalah Tempo. 

Dalam penjelasan mengapa dia melakukan donasi ganda (individual dan korporat) terhadap Rumah Jurnalisme, Denny JA mengutip berita harian The Guardian edisi 25 Maret 2015 yang menyimpulkan hasil sebuah riset. 

“Bahwa berderma itu, memberi itu, donasi itu, philantrophy itu, seperti virus. Ia menular.” 

Contohnya adalah gerakan The Giving Pledge yang diinisiasi Bill Gates dan Warren Buffet pada 2010. Anggota gerakan ini memiliki komitmen untuk mendermakan 50% kekayaan mereka baik ketika hidup atau sebagai wasiat jika wafat. 

Sepuluh tahun kemudian, anggota gerakan ini sudah mencapai 210 orang dari 23 negara.  Total donasi USD 600 miliar atau setara dengan Rp. 8,4 triliun. 

Selain kiprah sebagai filantropi kemanusiaan itu, Denny JA juga memberikan perhatian khusus kepada bangunan kebangsaan yang memiliki pilar majemuk. Pemikirannya dituangkan dalam buku Menjadi Indonesia Tanpa Diskriminasi: Data, Teori dan Solusi (2013).  

Pada World Interfaith Harmony Week 2015 Building Peace in Ambon Islands. Denny JA Foundation terlibat aktif mendukung kegiatan itu bersama Asia Foundation, Parakletos Foundation, Alive Indonesia, Pusam Paramadina, IAIN Ambon, Pusam UMM, LSAF, dan CSRC.  

Denny pun menciptakan lagu “Indonesia Tanpa Diskriminasi” dengan melodi dan aranmen catchy. Lagu itu dinyanyikan Anji, Alena Wu dan Andre Hehanusa. Lagu itu bisa disimak pada kanal YouTube Denny J.A’s World. 

Tenun kebangsaan sempat koyak di Ambon pada 1999 dan juga terjadi di sejumlah tempat lain dalam skala lebih kecil. Ini membuatnya gundah dan ingin berpartisipasi aktif dalam pemulihan hubungan horisontal antar umat agama dalam membangun Indonesia yang lebih maju di abad ke-21.  

Masyarakat diharapkan tak lagi mudah diadu domba dan terbakar oleh isu primordialisme etnis dan perbedaan agama. Pada 2016 dalam rangka meningkatkan kesadaran publik pada Sumpah Pemuda, Denny JA bekerja sama dengan ANBTI (Aliansi Nasional Bhineka Tunggal Ika) dan Asosiasi Guru Sejarah menggelar lomba penulisan esai, poster digital, dan video pendek dengan total hadiah Rp. 101 juta. 

Dua tahun kemudian untuk memperkokoh fondasi kebangsaan dijalankan melalui Komunitas Bela Indonesia dengan target melatih seribu orang juru bicara Pancasila yang berakhir di  Pontianak, Kalimantan Barat.  

Program yang menggamit Suar Asa Khatulistiwa (SAKA) sebagai rekanan setempat itu mengembangkan modul pelatihan dari materi Rumah Bersama Kita Bernama Indonesia karya Denny JA. 

Program yang berjalan selama empat bulan (Agustus-Desember 2018) ini berlangsung di 25 kota dan berakhir di Banjarmasin tiga pekan menjelang tahun baru 2019.  

Fasilitator utama pelatihan Khairul Umam mengutip hasil survei LSI yang menunjukkan bahwa, selama 13 tahun terakhir (2005-2018) terjadi penurunan dukungan terhadap Pancasila sebesar 10 persen dari 85,2% menjadi 75,3%. 

Terobosan lain yang dilakukan Denny JA adalah dengan melibatkan 2.000 siswa mengikuti pendidikan Pancasila untuk pemilih pemula di Universitas Terbuka, Tangerang Selatan, pada satu hari menjelang Proklamasi RI ke-73, 2018. 

Pelibatan siswa sebanyak itu menumbangkan rekor pendidikan politik yang sebelumnya dipegang Grassfield High School, Chesapeake, Virginia, Amerika Serikat dengan 714 orang tiga tahun sebelumnya.  

Untuk prestasi itu, LSI Denny JA meraih pengakuan Guinness World Records untuk memecahkan rekor dunia untuk pendidikan politik. 

Dengan semua gagasan, terobosan, dan program yang sudah dilakukannya selama ini apakah berarti Denny JA sudah berada dalam tingkatan yang setara dengan Gaius Maecenas atau Al Fath ibn Khaqan yang menjadi dua referensi pembuka pada tulisan ini? 

Tempus dicet. Waktu yang akan menentukan. 

Kalau pun saat ini Denny JA belum menoreh reputasi sehebat Maecenas dan Ibnu Khaqan, setidaknya dia sudah berada pada jalur dan ikhtiar yang benar sebagai ‘partner pencipta peradaban’. 

Denny JA tak perlu berkompetisi dengan orang lain, kecuali dengan dirinya sendiri. 

*Akmal Nasery Basral, penulis 21 buku. Tiga karya terakhir adalah Disorder (Bentang Pustaka, 2020), Dayon (MCL Publisher, 2021) dan Taman Iman Taman Peradaban (Cerah Budaya Indonesia, 2021). 

Kontak: e-mail: akmal.n.basral@gmail.com, FB: Akmal Nasery Basral, IG: @akmalbasral, Twitter: @basralicious