telusur.co.id - Majelis Wilayah (MW) Forhati Jawa Timur bersama Kohati Badko Jawa Timur menyelenggarakan kegiatan Edukasi Perempuan dalam Pelatihan Advokasi. Kegiatan ini adalah rangkaian 3 pelatihan online dan 1 kali pelatihan hybrid dengan sasaran para aktivis Kohati lingkup Jawa Timur.

Permendikbud No. 30 tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi adalah langkah maju dari Kemendikbud dalam merespon darurat kekerasan seksual di dunia pendidikan. 

Ketua pelaksana pelatihan advokasi PPKS, Wiwik Afifah menyatakan bahwa, “Darurat kekerasan seksual ini perlu direspon seluruh civitas akademika, khususnya pembahasan terkait Permendikbud yang telah memberikan kepastian hukum bagi korban ataupun pelaku selain peraturan kampus di ruang aman bagi seluruh civitas akademika,” tegasnya.

Forhati sebagai organisasi alumni HMI-Wati yang juga berfokus pada isu ini menganggap penting membekali Kohati kecakapan terkait implementasi Permendikbud PPKS agar memiliki pemahaman penanganan kasus salah satunya siap menjadi satgas PPKS di kampus. 

Menyiapkan kader dengan kemampuan melakukan advokasi terhadap civitas akademika di perguruan tinggi/kampus, terutama kemampuan advokasi non litigasi. Agenda pelatihn ini mempertemukan banyak cabang di kabupaten/kota se Jawa Timur. Potensi gerakan bersama mengawal implementasi cukup besar tercermin dari rencana tindak lanjut peserta yang berjumlah 27 orang.

Presidium MW Forhati Jawa Timur, Dini Latifatun Nafi’ati menerangkan bahwa, membekali kader dengan kemampuan melakukan advokasi terhadap civitas akademika di perguruan tinggi/kampus sangat penting, terutama kemampuan advokasi non litigasi. 

“Menjaga mata air aktivis perempuan yang mampu membaca kebutuhan dan menjawab keresahan kaumnya merupakan bentuk spirit Kartini masa kini bukan hanya semarak perayaan setiap tahun yang tidak ada dampak signifikan bagi masyarakat luas,” jelasnya.

“Kohati Badko Jawa Timur memberikan kesempatan penuh untuk mengkaji dan mengawal public policy. Faktanya, tidak sedikit perempuan kehilangan haknya karena takut dengan stereotipe masyarakat dan lingkungan. Terlebih sedikitnya bukti kekerasan yang dimiliki karena keterbatasan pengetahuan korban maupun pelapor,” papar Ketua Umum Kohati Badko Jawa Timur, Khusnul Ramdannisa.

Harapannya melalui kegiatan ini, kata Khusnul, akan ada gerakan baik yang dilakukan oleh individu maupun kelompok perempuan, misalnya mengasah potensi diri dalam kawah candradimuka perguruan tinggi. Tentunya hal ini tidak dapat dilakukan tanpa memiliki keyakinan ada ruang aman yang melindungi hak-hak mahasiswa. (ari)