Oleh : Daniel Mohammad Rosyid

Prinsip operasi intelijen yang sejati adalah : taati komando, bukan komandan. Kesetiaan puncak hanya pada konstitusi, bukan pada pemerintah yang bisa berganti sewaktu-waktu. 

Apalagi dalam arsitektur institusi saat ini di mana abdi negara justru menjadi penguasa yang gemar melakukan maladministrasi publik : hukum dibuat dan ditafsirkan bukan untuk kepentingan publik, tapi untuk kepentingan penguasa bersama oligarkinya. 

Sejak rangkaian amandemen ugal-ugalan yang melahirkan konstitusi palsu UUD 2002, negeri ini semakin digiring ke arah liberalisasi di segala bidang, terutama politik dan ekonomi melalui berbagai UU selama 5 tahun terakhir ini.  

Investor asing nyaris diberhalakan. Warga negara pemilih diposisikan sebagai buruh ekonomi dan politik. Rangkaian pemilu semakin menjadi instrumen transfer bersih hak politik rakyat pada partai-partai politik. Hak politik pemilih berakhir di bilik-bilik suara Pemilu. Kehidupan masyarakat terbukti semakin memilukan. 

Agenda terselubung non-state agents dari pandemisasi Covid-19 ini adalah penghancuran ekonomi dalam skala global melalui pembatasan mobilitas dalam skala yang pasti melumpuhan hampir semua sektor kehidupan. 

Ditambah dengan social distancing melalui menjaga jarak dan bermasker, kehidupan manusia sebagai makhluq sosial-spiritual hancur porak poranda. Sebagian besar kematian manusia saat ini bukan karena infeksi Covid-19, tapi karena keterpurukan sosial, budaya dan ekonomi. Karena alienasi, depresi dan malnutrisi.  

Di negeri kepulauan seluas Eropa ini, kemaritiman adalah kunci bagi pemerataan pembangunan dalam rangka persatuan Indonesia dan perwujudan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Bukan pembangunan di sekitar Jabodetabek dan Jawa saja.  

Kemaritiman mencakup pemanfaatan ruang laut dan udara bagi kepentingan mobilitas barang dan manusia.  Menjadi negara maritim adalah geostrategic default bagi negara kepulauan bercirikan Nusantara ini.  

Garuda Indonesia sebagai BUMN mestinya menjadi instrumen dalam membangun Republik ini sebagai negara maritim. Juga BUMN lain yang mengelola pelayaran, penyeberangan, bandar udara dan pelabuhan, serta perhubungan (telekomunikasi dan satelit). Menyerahkan BUMN ini ke swasta asing adalah kebijakan yang keliru dan sekaligus mengancam kedaulatan Republik. 

Industri pendukungnya seperti industri pesawat terbang, perkapalan, telekomunikasi dan satelit juga perlu diperkuat. Sayang sekali, saat ini sistranas kita justru dilumpuhkan oleh dominasi moda angkutan darat yang tidak efisien, berbahaya, polutif dan unsustainable. 

Industri mobil asing dianakemaskan, sementara moda laut dan udara dianaktirikan. Akibatnya, biaya logistik nasional kita tidak efisien yang menghambat upaya-upaya pemerataan pembangunan.  

Tentu ada masalah dalam pengelolaan BUMN ini sehingga tidak efisien dan menjadi sumber korupsi, bancakan jabatan bagi personil partai politik pandukung pemerintah. Ini juga harus dibenahi dengan membangun birokrasi yang lebih meritokratik, transparan dan akuntabel. Tekanan politik akibat biaya politik yang makin mahal harus diwaspadai karena telah mendorong banyak BUMN gagal membangun Good Corporate Governance. 

Garuda Indonesia perlu diselamatkan dari ancaman kebangkrutan dan hostile take over oleh kekuatan-kekuatan modal asing. Ini harus dipahami dalam kerangka yang lebih luas sebagai upaya membangun Republik Indonesia sebagai negara maritim. 

Lima tahun silam pernah gencar wacana Indonesia Poros Maritim Dunia. Sayang sekali wacana itu kini tak pernah terdengar lagi. Saya khawatir Garuda akan ditelan Naga.  

*Penulis adalah CEO Rosyid College of Arts and Maritime studies (RCAM) yang beralamat di Gunung Anyar, Surabaya, Ketua Yayasan Pendidikan Tinggi Dakwah Islam (YPTDI), Pakar Teknik Kelautan, Anggota Komite The Royal Institution of Naval Arcitects (RINA) yang bermarkas di Inggris).