telusur.co.id - Merespon statemen Walikota yang menginginkan Kota Malang sebagai “Center of Halal Tourism” dengan rasionalisasi untuk menangkap besarnya potensi pariwisata halal di Indonesia dan potensi pasar wisatawan yang datang ke Indonesia, hal itu tentu sah-sah saja dan bagus. 

“Akan tetapi, yang perlu diperhatikan terlebih dahulu apabila berbicara halal tourism itu adalah kita harus paham dan mengerti makna yang sebenarnya dari 2 (dua) terminologi tersebut, yakni kata halal dan kata pariwisata. Agar kita tidak salah kaprah dalam merumuskan kebijakan dan regulasi yang berkaitan dengan pengembangan Kota Malang sebagai center of halal tourism,” ujar Anggota Komisi D DPRD Kota Malang, Suryadi. Jumat, (10/3/2022).

Kalau bicara Halal tourism itu, tidak hanya berbicara restoran dan hotel yang halal semata sebagaimana diungkapkan oleh Walikota. Hal ini dikarenakan hotel dan restoran merupakan bagian kecil dari usaha akomodasi dan usaha makanan dan minuman dalam usaha pariwisata. 

Usaha pariwisata sebagaimana disebutkan dalam UU No. 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan adalah usaha yang menyediakan barang dan/atau jasa bagi pemenuhan kebutuhan wisatawan dan penyelenggaraan pariwisata. Dalam UU tersebut juga dijelaskan usaha pariwisata terdiri dari 13 (tiga belas) usaha pariwisata, dimana ke 13 usaha pariwisata tersebut dapat dikelola oleh pemerintah, masyarakat dan pengusaha. 

“Pemakaian terminologi “Center of Halal Tourism” yang disampaikan oleh Wali Kota Malang, menurut saya kurang sesuai apabila ke 13 usaha pariwisata belum tersertifikasi halal oleh lembaga terkait. Ketika terminologi itu dipaksa untuk digunakan, saya takut Pemerintah Kota Malang dianggap berpotensi menyederhanakan dan mereduksi makna pariwisata yang sebenarnya dan tidak sesuai dengan UU Kepariwisataan,” jelas Ketua Karang Taruna Kota Malang ini.

Spirit Wali Kota Malang untuk menangkap kebijakan dalam RPJMN dan arahan Presiden Joko Widodo bahwa, di tahun 2024 Indonesia menjadi destinasi wisata halal dunia nomor satu yang diyakini mampu meningkatkan devisa negara dan PAD di ditingkat daerah merupakan langkah yang menarik dan ini tentu saja selaras dengan RPJMD perubahan tahun 2018-2023 Kota Malang. 

Meskipun dalam RPJM sudah tertuang istilah halal apalagi akan diterapkan dalam pariwisata, maka perlu didukung dengan kesiapan regulasi yang mengarah kepada halal tourism atau center of halal tourism. Hal ini biar tidak terkesan Wali Kota Malang terjebak pada branding saja, namun nihil dalam implementasinya. 

“Jika ini yang terjadi (hanya branding saja), maka pasar wisatawan berpotensi merasakan kecewa ketika berwisata ke Kota Malang, apalagi pariwisata itu sangat luas maknanya dan memiliki berbagai komponen di dalamnya,” tegas Pimpinan Fraksi Partai Golkar Dapil Kedungkandang ini.

Padahal spirit halal tourism itu tidak hanya bagaimana menyediakan penginapan dan restoran yang halal, tetapi semua usaha pariwisata yang tercantum dalam UU Kepariwisataan juga harus punya sertifikasi halal termasuk juga meningkatkan jiwa religiusitas wisatawan ketika berwisata ke Kota Malang dengan halal tourismnya.

“Sebagai pemerintah, termasuk saya di DPRD Kota Malang harusnya sudah berbicara pada landasan regulasi yang jelas dan terukur terkait halal tourism (center of tourism). Kenapa demikian? Karena Kota Malang merupakan kota pariwisata yang telah dikenal oleh masyarakat luas namun hingga saat ini belum mempunyai regulasi tentang penyelenggaraan kepariwisataan yang sesuai dengan UU Cipta kerja yang terbaru,” tambahnya.

Selain itu pula, saya sangat menyayangkan hingga saat ini Kota Malang juga belum punya perda RIPPARKOTA yang menjadi roadmap pembangunan kepariwisataan di Kota Malang. Padahal, RIPPARKOTA itu merupakan pedoman bagi stakeholder pariwisata dalam melakukan pembangunan kepariwisataan di Kota Malang, termasuk juga kitab sucinya kepariwisataan yang didalamnya diatur secara detail kebijakan, strategi, program dan rencana kegiatan terkait 4 pilar pembangun kepariwisataan, yang meliputi: destinasi pariwisata, industri pariwisata, pemasaran pariwisata dan kelembagaan kepariwisataan. 

“Dengan absennya regulasi tersebut, menurut saya sebaiknya terlebih dahulu walikota perlu memenuhi regulasi-reguylasi tersebut sebelum berbicara jauh tentang Kota Malang mewujudkannya diri jadi Center of Halal Tourism, yang kemudian diperkuat dengan Peraturan Daerah atau Perwali tentang Standarisasi Pariwisata Halal. Hal ini untuk memberikan kepastian hukum kepada stakeholder pariwisata serta untuk menghindari adanya multi tafsir terkait halal tourism di kalangan masyarakat Kota Malang,” lugasnya.

Wali Kota Malang menyampaikan bahwa, capaian sertifikasi halal pada tahun 2020, terdapat 9 hotel, 1 rumah potong hewan, serta 72 restoran dan UMKM. Dalam capaian ini, hanya ada 2 (dua) yang masuk usaha pariwisata, itupun bagian kecil dari usaha pariwisata. Hotel masuk kategori usaha akomodasi sedangkan restoran itu masuk kategori usaha makanan dan miniuman. 

“Kemudian rumah potong hewan itu tidak masuk ke dalam usaha pariwisata kecuali ada regulasi yang menetapkan itu (rumah potong hewan) sebagai daya tarik wisata atau usaha pariwisata. Sedangkan UMKM itu bersifat umum yang bisa menjadi usaha yang mendukung secara langsung atapun tidak langsung terhadap aktivitas wisat,” imbuhnya.

Sekali lagi, jika Wali kota Malang benar-benar ingin wujudkan diri jadi Kota Malang Center of Halal Tourism, maka langkah yang harus disiapkan adalan menyusun Perda penyelenggaraan kepariwisataan dan perda RIPPARKOTA, juga menyiapkan regulasi terkait standarisasi pariwisata halal yang menyangkut 13 usaha pariwisata dengan sub sektornya, ditambah juga muatan materi kelembagaan dan sumber daya manusia/tenaga kerja. Karena Kota Malang belum memiliki regulasi-regulasi tersebut, saya kemudian beranggapan bahwa Kota Malang Darurat Regulasi untuk mencapai Center Of Halal Tourism.

“Selanjutnya terkait pernyataan Wali Kota terkait kampung-kampung tematik, wisata heritage, wisata kuliner yang akan dikuatkan, saya pribadi setuju dan mengapresiasi namum jangan lupa bahwa sampai sekarang keberadaan kampung-kampung wisata itu belum jelas terkait arah pengembangannya. Misalnyanya bagaimana pengelolaannya? Siapa pengelolanya? Bagaimana sarana dan prasarananya? Bagaimana sumber pendanaanya? Semua ini tentu harus dituangkan dalam regulasi agar memiliki landasan hukum yang jelas,” tanya Suryadi. (ari)