telusur.co.id - Komisi Nasional Perlindungan Anak sebagai lembaga independen di bidang Perlindungan Anak yang diberikan tugas dan fungsi sejak tahun 1998 untuk memberikan pembelaan dan perlindungan anak di Indonesia, menyerukan dan meminta semua elemen masyarakat apapun latar belakang kelompoknya yang terlibat dalam aksi demonstrasi menolak UU Cipta Kerja untuk tidak melibatkan anak-anak di dalam aksi menolak Undang-Undang Cipta Kerja yang baru saja disetujui DPR RI.

Sepanjang aksi menolak UU Cipta Kerja ditemukan fakta ribuan anak yang tidak mempunyai kepentingan yang berhubungan dengan kepentingan hukum anak dieksploitasi melakukan demostrasi menolak UU RI Cipta Kerja di berbagai daerah.

Di DKI Jakarta ditemukan fakta, pihak aparat keamanan telah mengamankan ratusan anak-anak berstatus pelajar dari berbagai titik demonstrasi seperti di depan Istana, Harmoni, Pasar Senen, Jembatan layang Pasar Rebo, dan Bundaran HI maupun para pelajar yang sedang menuju titik-titik demonstrasi.  

Anak-anak berstatus pelajar tersebut  disinyalir didatangkan dari berbagai daerah untuk saling lempar dengan aparat keamanan dalam aksi demonstrasi untuk menciptakan situasi memanas dan gaduh.

"Saling lempar dan saling mengejek dengan aparat keamanan dilakukan dalam situasi aparat keamanan sedang lelah dalam menghadapi demonstrasi itulah target dan sasaran kehadiran anak-anak tersebut serta dan untuk sekedar meramaikan aksi demonstrasi.

Sungguhlah tidak adil", demikian disampaikan Ketua Komisi Nasional (Komnas) Perlindungan Anak Arist Merdeka Sirait, melalui keterangan persnya yang dikirim dan dibagikan kepada sejumlah media di Jakarta hari ini 13 Oktober dalam menyikapi banyaknya anak-anak yang dilibatkan dalam demonstrasi untuk menolak Undang-Undang Cipta Kerja. 

Lebih jauh, Arist menjelasan bahwa, anak-anak ini diorganisir untuk saling lempar batu dengan aparat keamanan.   

Banyak anak-anak yang diamankan aparat kepolisian sebelum sampai pada arena demonstrasi mengaku bahwa, mereka terlihat dan dikerahkan melalui sistem pesan berantai  menggunakan media sosial. Mereka tidak tahu apa yang diperjuangkan.  

"Kami hanya diperintahkan berkumpul di satu tempat lalu disediakan kendaraan dan ada juga yang harus berjuang menumpang truk secara berantai, kata seoramg anak yang diamankan di Polda Metro Jaya. 

Dalam kemumunan demonstrasi di beberapa titik di Tangerang, Bogor, Depok dan Bekasi juga ditemukan anak berasal dari Tegal, Cianjur, Sukabumi dan Garut,” pungkas Arist. Selasa, (13/10/2020). 

Demikian juga di Medan Sumatera Utara,  ditemukan ratusan anak atau pelajar di tengah-tengah demonstrasi menolak UU Cipta Kerja yang dianggap merugikan masyarakat buruh di Indonesia bentrok dengan aparat keamanan. 

Ratusan anak-anak terpaksa diamankan di Mapolda Sumut, demikian juga di Makassar, Bandung dan Pontianak. Anak-anak juga terlibat di dalam demonstrasi yang dilakukan oleh elemen-elemen masyarakat buruh, mahasiswa serta aktivis pro demokrasi, buruh dan serikat buruh dan simpatisan partai. 

Di Bandung, Pematangsiantar, di Jawa Timur dan di Batam serta di beberapa tempat nyata-nyata melibatkan anak-anak yang ujungnya tercipta suasana demostrasi yang terprovokasi bentrok dengan aparat keamanan. 

Demonstrasi menolak UU Cipta Kerja yang ditelusuri Tim Advokasi dan Litigasi untuk Pemulihan dan Reintegrasi Sosial Komnas Perlindungan Anak ditemukan bukti bahwa, anak telah diorganisir secara rapih dan sistemik melalui pesan berantai menggunakan medsos untuk hadir dan terlibat dalam demonstrasi yang diorganisir mahasiswa dan elemen'-elemen masyarakat pro-demokrasi, buruh maupun serikat buruh, demikian juga simpatisan beberapa partai politik. 

Dari fakta-fakta yang terkonfirmasi atas, peristiwa demonstrasi nasional itu sudah jelas bahwa, anak secara sistemik sengaja terorganisir dan terukur dilibatkakan atau dieksploitasi secara politik untuk kepentingan dan tujuan kelompok tertentu. 

"Sudah tidak terbantahkan lagi bahwa, anak-anak sengaja dihadirkan dalam aksi demonstrasi untuk menolak UU Cipta Kerja untuk tujuan dan kepentingan kelompok tertentu,” lugas Arist. 

Oleh sebab itu, bersesuaian dengan UU No. 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak maupun Konvensi PBB tentang Hak Anak (Convention on the Right of the Chil) -RCR, dan demi kepentingan terbaik anak dan untuk menghindarkan anak terlibat bentrok dengan pihak keamanan. 

“Ayo bahu-membahu untuk tidak melibatkan anak dalam kegiatan-kegiatan politik,  demonstrasi untuk kepentingan-kepentingan kelompok tertentu. Sebab menggerakkan anak dalam kegiatan politik yang tidak ada hubungannya dengan kepentingan anak adalah bentuk kekerasan dan eksploitasi politik dan kejahatan terhadap kemanusia,” tegas Arist. 

“Oleh sebab itu, kalau kita sayang dengan anak kita, ayo kita hentikan, dan hentikan sekarang juga melibatkan dan menggerakkan anak, karena tindakan itu dilarang oleh Undang-Undang dan instrumen internasional. Janganlah kita memanfaatkan anak untuk kepentingan politik kita, ayo dan hentikan sekarang juga,“ ajak Arist. 

Untuk menyikapi aksi demonstrasi minggu lalu, Komnas Perlindungan Anak mengapreasi pendekatan keamanan yamg dilakukan pihak keamanan untuk mengamankan dan melindungi anak. 

Namun sangat disayangkan, seharusnya yang ditangkap dan ditahan adalah elemen-elemen masyarakat yang sengaja mengorganisir aksi demonstrasi menolak UU Cipta Kerja yang ditangkap, ditahan untuk dimintai pertanggungjawaban hukumnya.  

“Karena fakta menunjukkan bahwa telah terjadi dan ditemukan kegiatan eksploitasi politik dalam mengelola aksi demonstrasi menolak UU Cipta Kerja. Kegiatan ini tidak bisa kita dibiarkan,” pungkas dia. 

Arist menandaskan dalam rilisnya hari ini, Komnas Perlindungan Anak menyerukan dan mengajak seluruh Lembaga Perlindungan Anak (LPA) di seluruh Nusantara untuk melakukan langkah "Yudicial Review" ke Mahkamah Konstitusi tentang keberadaan UU Politik dan Pemilu yang membenarkan anak berumur 17 tahun menggunakan hak politiknya dalam penyelenggaraan Pemilu dan kegiatan politik lainnya. 

Keberadaan Undang-Undang yang nampaknya juga dipakai sebagai alat mengerahkan anak adalah UU Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) yang mengklasifikasikan usia anak sebagai pelaku, korban dan saksi tindak pidana diselesaikan  secara "diversi dan keadilan restorasi". Apalagi tindak pidana ringan atau tipiring penyelesaiannya tindak pidana berbeda dengan orang dewasa. 

Artinya anak tidak perlu ditahan dan hanya dibina dan dikenakan tindakan yakni dikembalikan kepada orangtua atau negara. 

Oleh karena itu, demi kepentingan terbaik anak (the best interest of the child), Komnas Perlindungan Anak dan LPA se-Nusantara mengajak semua elemen masyarakat yang tergabung dalam demonstrasi aksi penolakan Undang-Undang Cipta Kerja yang dilakukan pada hari ini dan pada masa yang akan datang secara khusus dalam menghadapi penyelenggaraan Pilkada serentak di Indonesia yang akan dilakukan oleh pemerintah bersama partai politik untuk tidak melibatkan dan mengeksploitasi anak untuk kepentingan-kepentingan kelompok tertentu karena menggunakan dan melibatkan anak dalam eksploitasi politik adalah merupakan kekerasan negara terhadap anak. 

Atas keadaan ini, Komnas Perlindungan Anak penuh harap mengajak semua komponen bangsa apapun latar belakangnya untuk bahu-membahu melindungi anak dari praktik-praktik eksploitasi politik.  

Guna melindungi anak yang terlanjur melakukan tindak pidana dan anarkis dalam aksi demonstrasi dan telah diamankan Tim Advokasi dan Litigasi untuk Pemulihan dan Reintegrasi Sosial anak Komnas Anak akan berkordinasi dengan aparat keamanan di berbagai wilayah untuk menemui anak-anak dan memastikan proses penyelesaian hukumnya dan trauma psikologisnya. 

"Oleh sebab itu, tidak ada dalil apapun dan dalam situasi apapun, hentikan sekarang juga,” demikian akhir dari keterangan pers yang dikeluarkan Komnas Perlindungan Anak. (ari)