Oleh : Z. Saifudin

Fase dan tahap 4 Pemilukada serentak tahun 2020 ini adalah ujian demokrasi lokal terbesar ditengah ombak dan gelombang pandemi. Fase dan tahap 1 sampa 3 pada tahun 2015, 2017 dan 2018 sudah berjalan dengan baik. Fase dan tahap akhir nanti akan berlangsung Pemilukada serentak di 34 Provinsi pada tahun 2027. 

Tidak dapat dipungkiri keadaan darurat ini memang langkah progresif agar kontestasi demokrasi lokal tetap berjalan. Sesuai jadwal semula memang akan dilaksanakan pada tanggal 23 September 2020. Dalam keadaan tersebut mengalami penundaan.

Dari 3 opsi usulan KPU akhirnya disetujui pada tanggal 9 Desember Tahun 2020 sebagai opsi paling realistis untuk dilaksanakan Pemilukada. Keputusan tersebut diambil dalam forum rapat bersama dengan DPR dan pemerintah (Kemendagri) pada akhir maret 2020. Anggaran dana yang disetujui sekitar 2,6 T. 

Pemilukada tahun ini akan diselenggarakan di 270 daerah. Ada 9 tingkat provinsi sisanya berada di Kabupaten dan Kota Madya. Dengan sekitar 107 juta pemilih.

Keadaan darurat tersebut telah dibingkai dalam Perppu No.2 Tahun 2020 tepat tanggal 4 Mei 2020 sebagai legalitasnya. Khususnya pada Pasal 120, penambahan Pasal 122A dan 201A. Penundaan proses Pemilukada ini disebabkan adanya faktor alam dan non alam. Adanya pandemi ini dianggap faktor non alam. 

Pertaruhan Konstitusi 

Pada BAB VI Konstitusi tentang Pemerintahan Daerah khususnya dalam Pasal 18 ayat (4) merupakan legalitas konstitualisme terkait Pemilukada. Pasca amandemen II Konstitusi menempatkan kerangka pemerintahan daerah dalam bingkai Otonomi Daerah tidak lagi bersifat sentralistik.  

Menurut asas otonomi dan tugas pembantuan (Pasal 18 ayat (2)). Sifat desentralisasi telah memberikan mandat terhadap pemerintah daerah agar bersifat mandiri. Lepas dari banyang-bayang pemerintah pusat. Pun juga masih dalam kerangka NKRI. Berbeda dengan konsep negara federal. Indonesia adalah negara kesatuan (Pasal 1 ayat (1)). Inilah adalah grand design bernegara. 

Legalitas 

Berbicara tentang legalitas sebagai turunan hukum dari Konstitusi adalah berupa UU Pemilukada No.10 Tahun 2016. Atas revisi UU No. 1 dan No. 8 Tahun 2015. Anasir instrument hukum lainnya adalah UU Pemerintahan Daerah (No. 23 Tahun 2014). Aturan teknis dari KPU berupa PKPU No. 5 Tahun 2020 berkaitan dengan jadwal dan tahapan Pemilukada. PKPU No. 6 dan 10 Tahun 2020 berkaitan pelaksanaan teknis aturan Pemilukada. 

Substansi PKPU 

Secara umum PKPU No.5 Tahun 2020 mengatur jadwal tahapan Pemilukada. Pada tanggal 4-6 September 2020 tentang pendaftaran calon. Tanggal 23 September proses penetapan calon. Tanggal 26 September sampai 5 Desember merupakan tahapan kampanye.  

Tanggal 9-26 Desember merupakan proses perhitungan dan rekapitulasi suara. Setelah itu KPU akan mengumumkan dan menetapkan calon yang menang dalam kontestasi. Pasca ruang ini akan ada gugatan di MK sebagai tahapan akhir. 

PKPU No. 6 dan No. 10 Tahun 2020 banyak mengatur tentang urgensi adanya menjaga protokol kesehatan. Walaupun sanga sulit untuk menentukan unsur-unsur pidana. Jika terjadi pelanggaran. Batasan aturan terkait jumlah berkerumun maksimal 50 orang saat di tempat terutup.  

Bahkan saat rapat umum konsentrasi massa hanya dibatasi maksimal 100 orang. Lalu penjeratan atas pelanggaran protokol kesehatan apa? Dapat menggunakan KUHP, UU Wabah Penyakit (No.4 Tahun 1984) dan UU Kekarantinaan Kesehatan (No.6 Tahun 2018).  

Anasir terkait unsur-unsur pidana ini sangat bersifat subjektif dari penegak hukum. Bisa jadi memang aturannya masih elastis dan multi tafsir. Banyak celah untuk dimanfaatakan. 

Dinamika Sebelum Penetapan Calon 

Pasca pendaftaran tahap 2 atau masa perpanjangan tanggal 10-12 September dikarenakan masih ada 28 daerah yang hanya terdapat calon tunggal. KPUD melakukan rapat pleno sejak ditutup saat pendafaftaran tahap 1.  

Pasca perpanjangan tinggal 25 daerah saja. Ada 3 daerah yang sudah tidak lagi hanya calon tunggal (Kota Serdang, Sumut, Sungai Penuh, Jambi dan Bintang, Kepulauan Riau).  

Ada sekitar 73 calon petahana yang maju lagi dan sempat mendapat teguran dari Kemendagri agar taat protokol kesehatan. Sekaligus agar dapat memberkan teladan yang baik. 

Dinamika lain adalah adanya tarik ulur dukungan Parpol. Mengingat ambang batas terhadap Paslon agar dapat dukungan dari Parpol sebesar 20% jumlah anggota DPRD. Kasuistis kasus adalah awalnya mendukung kemudian karena alasan tertentu ditarik lagi (Sumbar dan kota Kutai Kartanegara). 

Ada juga potensi mahar politik, konflik dualisme Parpol dan potensi settingan di daerah khususya yang hanya calon tunggal atau yang awalnaya berpotensi calon tunggal tiba-tiba ada lawan tandiangan di detik akhir pendaftaran.  

Bahkan say war antar Parpol pun terjadi. Juga antar Paslon. Bahkan juga antar Timses. Mengarah pada isu sensitif terkait SARA dan diskriminasi.  

Hal yang tidak kalah penting dan menarik adalah ketika ada indikasi dari Ketua DPR yang memberikan statement tentang eksistensi ideologi negara Pancasila di Sumbar. Sempat menuai kontroversi publik. Pro dan kontra pun terjadi. Sangat disayangkan justru dapat berpotensi memecah belah. 

Potensi Gugatan Hukum 

Dalam pandangan Penulis, potensi gugatan dapat terjadi dalam 3 domain dan ruang. Pertama, sebelum tanggal 23 Septemer 2020 berkaitan dengan waktu pendaftaran Paslon. Kedua, saat masa kampanya dari tanggal 26 September 2020 sampai 5 Desember 2020.  

Ketiga, berkaitan dengan gugatan penetapan hasil. Pada fase 1 dan 2 idealnya dapat dilakukan di PTUN, PN dan DKPP. Pada fase 3 hanya dapat dilakukan di MK. 

Dalam telaah lebih lanjut oleh penulis, proses di PTUN ini berkaitan dengan subjectum dan objectum litis. Apalagi beschickingadalah objek pada PTUN. Potensi gugatannya dapat berupa KPU Vs Parpol, KPU Vs Bacalon dan KPU vs Calon.  

Pada tingkat PN ini berkaitan dengan indikasi perbuatan melawan hukum dan pemidanaan. Kasusitis kasus dapat terjadi dalam Pasal 177A UU Pemilukada ada unsur hukum berkaitan dengan pemalsuan dokumen dan data pemilih. Bisa juga berkaitan dengan adanya money politic, mahar politik, hoax dan black campaign. 

Pada tingkat DKPP berkaitan dengan wilayah administratif. Penegakan etika komisioner penyelenggara Pemilukada. Kasuistis kasus ada 50 kota di Sumbar sudah mendapatkan hukuman.  

Hal ini disebabkan karena para komisioner KPUD dianggap menyalahi aturan. Banyak laporan terkait perilaku dari para komisiner. Bahkan Baswaslu pun angkat bicara untuk memberikan peringatan keras agar dapat bekerja secara profesional. 

Lalu bagaimana sebagai hasil akhir digugat di MK? Persoalan ini ada ambang batas sendiri. Ambang batas terkait selisih persentase dari para kontestan.  

Pada Pasl 158 UU Pemilukada sudah memberikan arahan. Hal ini disebabkan jumlah penduduk masing-masing daerah tidak sama. Luasnya pun tidak sama. Daerah yang jumlah penduduknya dibawah 2 juta batasan persentasenya 2%.  

Sedangkan diatas 12 juta ada 0,5%. Itu secara umum. Jika tidak memenuhi ambang batas tersebut? Hak setiap warga negara untuk tetap mengajukan gugatan.  

Hal ini pernah terjadi saat gugatan pada Pemiukada tahun 2015 dan 2017. Tanpa memenuhi ambang batas tetap diproses. Persoalan lain tentang hasilnya. Itu adalah domain hakim MK memberikan pendapatnya. Berkaitan degan batasan waktu?  

Secara umum maksimal 3x24 jam harus sudah dimasukan gugatannya. Sejak diumumkan dalam penetapan hasil oleh KPU. Sejak masuk di MK sampai putusan maksimal 45 hari.  

Secara umum, aturan teknis dari MK berupa PMK No. 1 sampai 4 (tentang pedoman perkara, beracara, jadwal dan materi persidangan). Masih dapat digunakan sekarang. Dalam keadaan tertentu MK dapat memberikan revisi terhadap aturan teknis jika diperlukan. Sifatnya bisa kondisional. 

Pola Koordinasi 

Dalam kerangka good governance dan clean goverment idealnya ada pola koordinasi antar para pihak. KPU bersama KPUD diseluruh Indonesia melakukan koordinasi dengan baik. Sebagai penyelenggara teknis harus tegas terhadap penerapan norma hukum. Bawaslu harus melakukan pengawasan yang ketat.  

DKPP dapat memberikan sanksi administratif yang objektif. Komisi II DPR dapat melakukan pengawasan dan pemanggilan pada KPU sebagai mitra kerja dari KPU. DPR dapat melakukan evaluasi kinerja KPU dan pengawasan terhadap pemberlakukan aturan. Sudah baik atau belum. 

Pemerintah dalam arti diwakili oleh Kemendagari khususnya harus menempatkan posisi. Tidak boleh terlalu intervensi terhadap kebijakan di daerah. Apalagi masih dalam keadaan pandemi. Pemerintah daerah lebih memahami keadaan masyarakatnya.  

Mengingat melalui Keppres No.12 Tahun 2020 Kepala Daerah masih sebagai kepala gugus pandemi. Kepala Daerah memiliki domain untuk mengambil kebijakan taktis tanpa harus diintervensi pemerintah pusat. Forkompimda dapat dilakukan secara berkala oleh masing-masing kepala daerah dengan pihak terkait.  

Bisa juga dilakukan dengan aparat penegak hukum agar dapat melakukan evaluasi terhadap pengetatan protokol kesehatan. Apalagi untuk supporting system dalam penegakan operasi justicia sudah dibentuk Pam Swakarsa. 

Jalan Solutif 

Mengingat proses Pemilukada ini dilaksanakan ditengah pandemi banyak desakan agar ditunda?. Dalam pandangan Penulis, idealnya agar tetap dilanjutkan saja. Kenapa? Demi proses roda pemerintahan daerah tetap berjalan.  

Jika ditunda apakah garansinya pandemi dapat terdeteksi segera berakahir? Tidak ada kejelasan waktunya. Jika ditunda justru akan menimbulkan ketidakpastian hukum. Inkonsistensi. Aturan akan ganti lagi. Berubah lagi.  

Hal ini dapat membuat penyelenggara teknis kebingungan dalam memberikan tafsir. Khususnya terhadap adanya PKPU sebagai aturan teknis dari KPU. Tetap dilanjutkan dengan tetap menerapkan disiplin terhadap protokol kesehatan. Agar tidak tumbul klaster baru dalam penularan pandemi ini. 

Kita berharap politik pecah belah. Diskriminasi dan politik identitas yang negatif tidak muncul dalam Pemilukada ini. Semua pihak harus menahan sifat egosentris kepentingan pribadi dan/atau golongan saja. Jangan hanya persoalan menang dalam kontestasi sebagai tujuan utama.  

Semua pihak wajib mengedepankan adanya demokrasi sehat. Kontestasi yang demokratis. Agar memberikan pendidikan politik yang baik bagi masyarakat luas. Apalagi ujian besar pandemi belum berakhir. Psikologis publik belum stabil. 

Herbert Mclosly berkata “Partisipasi politik merupakan kekuatan warga negara ketika mengambil bagian pada proses pemilihan penguasa dan kebijakan umum” (Andi Faisal Bakti, 2012: 119).  

Hal ini harus dimanfaatkan dari 107 juta voterssebagai bagian dari warga negara agar tidak golput. Apalagi skeptis dan apatis tidak ikut berpastisipasi.  

Semua harus memiliki sense of belonging terhadap keberlangsungan pemerintahan daerah. Dalam buku yang berkaitan dengan Sosiologi Politik (Michael Rush dkk, 2011: 249) bahwa T.B. Bottomore berkata, “Kepemimpinan politik merupakan perpaduan semua kelompok kekuatan politik dan pengaruh politik” Kepemimpinan lokal merupakan grass root sebagai embrio kepemimpinan nasional. 

Sebagai penutup, mengingat Indonesia adalah negara kesatuan dalam bingkai NKRI adanya pemerintah pusat tidak boleh terlalu intervensi terhadap urusan pemerintahan daerah. Jangan sampai ada kemunduran demokrasi. Tidak boleh urusan negara justru mundur ke belakang.  

Penulis menarik benang merah dari pakar negara, hukum dan demokrasi dalam buku Hukum Pemerintahan Daerah (Ni’matul Huda, 2009: 28) bahwa Van Apeldoorn pernah berkata, “Negara kesatuan apabila kekuasaan hanya dipegang oleh pemerintah pusat, sementara provinsi-provinsi menerima kekuasaan dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah tidak memiliki hak mandiri ”.  

Ini dapat terjadi jika konsekuensi logisnya pemerintah pusat terlalu intervensi terhadap urusan rumah tangga pemerintahan daerah. Kita berharap Pemilukada ini sebagai momentum evaluasi agar bingkai NKRI demi pelaksanaan Otonomi Daerah dapat terjaga dengan baik. 

*Penulis adalah Direktur Institut Pemantau dan Pengawas Pemerintahan Daerah (IP3D) dan Direktur Law Firm Pedang Keadilan & Partners.