Buku Pramudya Ananta Toer, Dunia Aktivis, dan Kisah Isti Nugroho - Telusur

Buku Pramudya Ananta Toer, Dunia Aktivis, dan Kisah Isti Nugroho


Oleh : Denny JA

Respon kita terhadap buku Pramudya Ananta Toer menggambarkan Indonesia yang telah berubah. Dunia aktivis juga kini sudah berbeda.

Tahun 2019. Film itu cukup menghentak, membuat haru. Film yang diangkat oleh Hanung Brahmantyo dari buku Pramudya Ananta Toer: Bumi Manusia.

Di alam baka, Pramudya mungkin tersenyum. Karyanya akhirnya diperbincangkan secara terbuka di Indonesia, di negeri kelahirannya sendiri. Bahkan buku karyanya itu juga menjadi film.

Dua anakku, yang saat itu masih SMA, bercerita lebih jauh. Berdua mereka bersekolah di JIS: Jakarta International School.

“Ayah, aku sudah membaca novel aslinya. Tapi yang kubaca edisi bahasa Inggris: The Earth of Mankind.”

“Oh ya, tanya saya ingin tahu lebih lanjut. Kamu sendiri yang memilih novel itu?”

“Ya, Ayah. Tapi kita hanya memilih novel yang ada dalam list untuk direview. The Earth of Mankind ada dalam list itu.” 

Dua anakku lalu bercerita apa yang ia baca di novel dan yang tak ada di film. 

“Itu Ayah, koper coklat di akhir film yang dibawa Annelies, sayangnya tak dieksplor. Jika kisah koper coklat itu didalami, wah penonton bisa semakin menetes air mata.” 

“Koper itu punya sejarahnya. Waktu Nyai Ontosoroh dijual bapaknya menjadi simpanan Tuan Belanda, koper coklat itu yang Nyai Ontosoroh bawa. Ia menangis meraung.” 

“Di kelas, kita studi semiotika, mendalami arti dan simbol dari penanda atau benda. Koper coklat itu maknanya lebih mendalam. Di film ini kurang digarap.” 

Anakku yang satu lagi juga bercerita. “Ada kisah juga di novel, ketika Nyai Ontosoroh sudah kaya raya. Dua orang tuanya datang ke rumahnya. Tapi Nyai Ontosoroh menolak kedua orangtuanya. Ia masih marah karena dijual kedua orang tuanya.” 

“Wah itu adegan seru. Sayang tak ada di film adegan itu.” 

Ujar saya dalam hati, betapa luas novel Pramudya di masa kini dibaca. Bahkan anak-anak sekolah di SMA diminta untuk mereviewnya. 

Dua anakku bertanya “Ayah waktu SMA juga sudah membaca novel Pram di sekolah?” 

“Wah, Nak. Ayah di SMA itu tahun 80-an. Orde Baru sedang berkuasa. Membaca buku Pram, kamu bisa ditangkap?” 

“Ha?” Dua anakku terperajat. “I don’t understand Ayah. Kok baca novel bisa ditangkap?” 

Sayapun bercerita pada mereka kisah Isti Nugroho. “Itu Om Isti yang suka ke kantor Ayah? Ayahnya Kening?”  

“Ya, Nak.” Jawab saya. 

Sekitar tahun 1988, Isti Nugroho dan temannya aktivis mahasiswa Jogjakarta. 

Suatu hari, mereka membuat acara sastra mengundang intelektual luar: Keith Foulcher.  Pemikir ini diminta berbicara mengenai bukunya sendiri: “Angkatan 45, Sastra Politik Kebudayaan dan Revolusi Indonesia.” 

Tanpa diduga, Keith Foulcher juga menyinggung dua buku Pramudya Ananta Toer: Bumi Manusia dan Gadis Pantai. Dua buku itu, fisiknya ada di acara diskusi. 

Acarapun selesai. 

Berapa saat kemudian, Isti Nugroho selaku penyelenggara acara ditangkap polisi. Gara-gara ia mendiskusikan dua buku Pramudya Ananta Toer, akhirnya Isti dipenjara. 

Tak nanggung-nanggung. Ia mendekam penjara selama 8 tahun. Hanya karena mendiskusikan dua buku Pramudya. 

“Waduh bung; setiap malam saya disiksa. Saya dituduh komunis. Saya bilang komunis dari mana? Saya asli Pancasila.” 

Ujar Isti, “setiap malam dari jam 24.00 hingga subuh saya direndam di bak mandi. Saya tetap pakai baju dan sepatu. Saya disiksa supaya mengaku komunis.” 

“Kaki saya pernah dijepit pakai meja. Lalu mejanya diduduki tujuh orang. Sampai pincang kaki saya.” 

“Sempat saya dibuang ke Nusa Kambangan. Itu hanya gara-gara dua buku Pram.” 

“Saya bebas bersyarat tahun 1994. Waktu saya jumpa Bung di Jayabaya Universitas, itu saya sudah bebas tapi bersyarat. Tahun 1996, saya bebas murni.” 

“Setelah Orde Baru jatuh, di tahun 1999, saya ke toko buku Gramedia,” ujar Isti Nugroho melanjutkan kisahnya. 

“Di rak buku, saya melihat dua buku Pramudya Ananta Toer dijual bebas di sana: Bumi Manusia dan Gadis Pantai.” 

“Saya tak tahu harus menangis atau ketawa. Ini dua buku ini yang membuat saya dipenjara 8 tahun. Kini dijual bebas di Gramedia.” 

Dua anak saya beranjak dewasa. Di era Orde Baru, ia belum lahir. Tak masuk di akalnya Kisah Isti Nugroho. 

Bagaimana mungkin seseorang dipenjara 8 tahun hanya karena mendiskusikan buku Pram? Padahal kini di kelas, buku Pram itu diminta guru untuk bebas direview. 

Begitulah politik sudah berubah. Apa yang dahulu dianggap bahaya ternyata enteng-enteng saja.  

Buku Pram difilmkan. Tak ada pemberontakan karena film ini. Tak ada pula orang simpati pada komunis gara-gara film itu. 

Hari ini, 30 Juli 2021, Isti Nugroho berulang tahun. Saya berjanji padanya memberi hadiah tulisan. 

Kisah ini yang saya buat sebagai kado ultahnya. “Selamat Ultah bro Isti. Kisahmu menginspirasi perbandingan dua zaman.” 

Plus satu lagi hadiah. Ini soal dunia aktivis. Tepatnya soal berubahnya dunia aktivis di masa kini. 

Kisah ini sudah saya tuliskan dalam puisi: “Kemana Perginya Para Aktivis.” 

Saya muat kembali puisi ini: 

KEMANA PERGINYA PARA AKTIVIS 

Ruangan itu bergelora.

Ratusan aktivis di sana.

Di atas 50-an usia mereka.

Hanyut oleh romantika.

Gelora tempo dulu,

era mahasiswa. 

 

Silahturahmi aktivis nasional

Resmi dibuka.

Tivi, koran dan jurnal kelas dua.

Meliput untuk berita. 

 

Anwar duduk menyendiri.

Di antara kumpulan yang

pernah sehati.

Tak terasa, seru Anwar meringis.

Puluhan tahun sudah aku menjadi aktivis. 

 

Yel-yel dibunyikan.

Pekik dan slogan digelorakan.

Penuh rasa perkawanan.

Juga rasa permusuhan.

Anwar hadir dalam ruangan:

Namun melihat semua dari kejauhan. 

 

Ucap Anwar di hati.

Beragamnya mereka kini.

Ada pejabat tapi korupsi.

Ada pengangguran berharap koneksi.

Ada yang tetap berteriak Revolusi.

Namun tak jelas visi dan misi.

Banyak pula menjadi tua, 

dan kurang gizi.

 

Dilihatnya sebelah sana.

Sahabatnya yang pernah satu rumah.

Dulu melarat bersama.

Gelantungan di bis kota.

Antri ke kampus naik kereta.

 

Kini sang sahabat kaya raya.

Aneka usaha ia punya.

Sebagai aktivis, ia lihai.

Berpolitik ia lunglai.

Meliuk ke kanan ke kiri.

Tergantung angin berlari.

Adakah sahabat itu salah?

Jika berpolitik untuk harta?.

 

Di lihat di sebelah sini.

Mantan aktivis yang lain lagi.

Mata sahabat yang ini masih menyala.

Jika bicara, mulutnya berbusa.

Tapi hatinya penuh luka.

Terlalu sering ia kecewa.

Sakit-sakitan di masa tua.

Beli obat saja tiada bisa.

Anwar peluk ia.

 

Anwar bukan semua mereka.

Anwar tetap ingin juara.

Ia melihat Nelson Mandela.

Ia mendengar Martin Luther King.

Ia pencinta Soekarno Muda.

Ia pelajari Mohammad Hatta.

Mereka aktivis sebenarnya.

Seperti mereka kita bermuara.

Mimpi itu masih bergelora

Anwar hidup-hidupkan pada ia punya dada.

 

Puluhan tahun sudah menjadi aktivis.

Ini era hujan gerimis.

Ia merasa kesepian.

Dalam perjuangan semakin sendirian.

 

Selesai sudah itu silahturahmi.

Setelah sekedar berbasa basi.

Anwar undur diri.

Pulang ia ke rumah.

Kembali ke ia punya bini.

 

Laporan itu datang lagi.

Dari bini sehidup semati.

Uang sekolah bocah belum dibayar.

Tagihan listrik belum dibayar.

Kredit motor belum dibayar.

Genteng bocor belum diperbaiki.

Beras di dapur sudah habis:

Obat si sulung belum ditebus.

 

Anwar, sang aktivis senior terdiam.

Kemana lagi ia mencari pinjaman.

Gagasannya tetap membahana.

Namun keok urusan rumah tangga.

 

Terus saja Anwar berdoa.

Cahaya itu datang lagi.

Menyapa saat ia sepi.

Menguatkan ia punya hati.

Menyeru agar ia kembali.

Kembali kepada khitahnya.

Kembali kepada akarnya.

Kembali kepada api.

 

Ini apinya sebagai aktivis.

Setia pada kebaikan.

Berani pada kebenaran.

Pilih hidup penuh makna.

Walau itu jalan duka.

Walau itu jalan luka. 

*Penulis adalah Konsultan Politik, Founder LSI-Denny JA, Penggagas Puisi Esai, Sastrawan dan Penulis Buku.


Tinggalkan Komentar